Kalau masih menyediakan, tidak bisa dikatakan melindungi masyarakat apalagi berkelanjutan
Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan ruangan khusus merokok yang berada di destinasi wisata tidak mencerminkan pariwisata berkelanjutan karena tidak mematuhi prinsip kepatuhan kawasan tanpa rokok.

“Penyediaan tempat khusus merokok dalam gedung tidak efektif mengeleminasi asap rokok. Oleh karena itu WHO Indonesia selalu mengedukasi bahwa ruang khusus merokok tidak perlu ada di dalam gedung. Kalau masih menyediakan, tidak bisa dikatakan melindungi masyarakat apalagi berkelanjutan,” kata National Professional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia, Ridhwan Fauzi pada Lokakarya Pengembangan Standard Pariwisata Berkelanjutan Tanpa Rokok di Jakarta, Rabu.

Ridhwan menuturkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dilarang untuk kegiatan merokok atau atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau.

Berdasarkan pengertian tersebut maka prinsip kepatuhan kawasan tanpa rokok, seharusnya tidak ditemukan puntung rokok, maupun iklan promosi, apalagi orang yang merokok dalam gedung.

“Tempat khusus merokok berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, maka harus ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik. Kemudian, terpisah dari gedung atau ruang utama dan rang lain yang digunakan untuk beraktivitas. Lalu, jauh dari pintu masuk dan keluar dan jauh dari tempat orang berlalu lalang,” ucapnya.

Baca juga: Pemprov Riau menyiapkan kawasan wisata kuliner halal, aman dan sehat

Baca juga: Pengamat: Terapkan program Tiga Sehat di objek wisata


Lebih lanjut Ridhwan menjelaskan bahwa penetapan aturan yang secara spesifik mengatur kawasan bebas rokok pada destinasi wisata sudah sepatutnya dipercepat karena selain aturan mengenai kawasan tanpa rokok sudah ada hingga level kawasan/kota, jumlah perokok terus meningkat setiap tahunnya.

WHO mencatat penurunan konsumsi rokok secara prevalensi dari 38 persen di 2011 menjadi 34 persen dari total penduduk Indonesia di 2021. Namun, penurunan tersebut tidak signifikan karena jumlah penduduk semakin bertambah.

“Secara absolut dari 60 juta perokok menjadi 70 juta perokok di 2021. 70 juta ini bukan jumlah yang sedikit dan beban kesehatan akibat konsumsi rokok naik dari Rp184,36 tribun ke Rp410,76 triliun,” ungkapnya.

Jika nantinya aturan mengenai kawasan wisata tanpa rokok, Ridhwan menuturkan bahwa pemerintah tidak perlu khawatir jumlah wisatawan akan berkurang signifikan karena sejumlah literasi mencatat implementasi kawasan tanpa rokok di Karibia tidak mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan, pengeluaran wisatawan maupun rata-rata lama berwisata.

“Sama dengan merokok di pesawat. Industri aviasi juga ditakuti kalau dilarang merokok orang tidak mau naik pesawat. Begitu juga dengan kereta api tapi kereta api okupansinya tinggi. Artinya memang kawasan KTR tidak merugikan dan evidence ini tidak merugikan,” ucap dia.

Baca juga: East Ventures dukung pengelolaan konservasi dan wisata alam TN Komodo

Baca juga: Kabupaten Kuningan bentuk 43 desa wisata manfaatkan alam


Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023