Jadi, sekali lagi teori periode La Nina dan El Nino terjadi dalam 5 tahun atau 6 tahun sepertinya sudah tidak relevan lagi sekarang.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A. Fachri Radjab menyoroti perubahan iklim yang menyebabkan teori tentang periode La Nina dan El Nino menjadi tidak lagi relevan.

"Teori yang selama ini dipelajari, ada periode pengulangan selama 5—6 tahun antara La Nina dan El Nino. Akan tetapi, ternyata selama 5 tahun teori itu sudah tidak berlaku lagi," kata Radjab dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.

Radjab memberi contoh bahwa pada tahun 2020, 2021, dan 2022, Indonesia selama 3 tahun berturut-turut mengalami La Nina yang berarti memiliki kelebihan air akibat hujan terus-menerus. Fenomena seperti itu hanya terjadi pada 50 tahun lalu.

"Jadi, sekali lagi teori periode La Nina dan El Nino terjadi dalam 5 tahun atau 6 tahun sepertinya sudah tidak relevan lagi sekarang," ujarnya.

Dikatakan puka bahwa perubahan iklim adalah isu global yang sangat disorot. Hal ini mengingat kesalahan memitigasi perubahan iklim merupakan risiko global nomor satu dan nomor dua yang memengaruhi ekonomi global dalam jangka panjang.

"Perubahan iklim kami amati dalam beberapa parameter. Secara global naik terus dan perubahan iklim adalah kenyataan. Contohnya karbon dioksida, emisi gas sudah sekitar 149 persen lebih tinggi dibanding ketika masa pra-industri," papar Radjab.

Indikator lainnya, kata Radjab, adalah perubahan suhu global. Sejak 1960-an hingga awal 2000 terjadi lonjakan tajam dengan laju sangat cepat.

Menurut dia, hal tersebut ada kaitannya dengan agraria sebab pertanian berkaitan dengan erat dengan air.

"Ketika musim hujan, ancamannya terjadi longsor dan banjir. Sementara itu, musim kemarau terjadi kekeringan dan suhu tinggi. Jadi, kita waspada pada musim dingin dan musim hujan. Kebanyakan air gagal panen, kekurangan air juga enggak bisa panen," imbuhnya.

Lebih lanjut dia menjabarkan hasil penelitian BMKG bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami fenomena tanpa hujan selama 65 hari berturut-turut.

"Pada tahun ini selama 141 hari berturut-turut tanpa hujan.Rekornya ada di NTT selama 207 hari tanpa hujan. Nah, ini tantangan petani kalau mau menanam," kata Radjab.

Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk Peran Industri Agroinput dalam Rantai Produksi Pangan Nasional dengan penyelenggara Nagara Institute. Acara ini ditayangkan secara daring pada hari Rabu.

Baca juga: BMKG: 13 wilayah di Sultra hujan dengan intensitas berbeda
Baca juga: BMKG: Waspada potensi hujan lebat di Yogyakarta pada 6-8 Desember

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023