Jakarta (ANTARA) -
Country Representative Badan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau UNFPA Hasan Mohtashami mengunjungi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk membahas pemenuhan hak perempuan dalam rangka menurunkan stunting.
 
"Faktanya, sekarang beberapa negara menua (penduduknya), fertilitas menurun, mereka sudah mulai ‘ayo tambah anak’, atau ‘kamu harus tambah anak’. Pembicaraan ini sangat salah, karena ini adalah tentang pilihan dan hak para perempuan. Jika perempuan ingin punya anak 1, 2, 3 atau 10, itu adalah keputusan mereka sendiri," kata Hasan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
 
Ia menegaskan, peran pemerintah dan para pembuat kebijakan yang paling penting yakni menyediakan informasi dan pelayanan untuk para perempuan dan mereka (keluarga) yang akan memutuskan atau memilih ingin memiliki berapa anak.
 
Hasan juga menyampaikan bahwa kerja sama BKKBN dan UNFPA sangat diperlukan dan harus terus berjalan secara berkelanjutan, karena isu kependudukan bukan hanya tentang angka dan jumlah anak, tetapi juga tentang bagaimana perempuan memilih apa yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri.
 
"Yang perlu kita garis bawahi, stunting memang penting. Saya selalu bilang, saya tidak naif, memang banyak prioritas lainnya di dunia ini, ada perubahan iklim, ketahanan pangan, perang, dan lain-lain. Vaksinasi penting, kemiskinan penting, dan seterusnya, tetapi saya harap kita tidak melupakan tentang perempuan ini, karena kadang perempuan masih terlupakan," ujar dia.
 
Ia menyatakan sangat bangga bisa bekerja sama dengan BKKBN dan akan terus melanjutkan kolaborasi.
   
Sementara, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengemukakan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian penting, yaitu banyaknya kelahiran tiap 1.000 perempuan pada kelompok umur tertentu atau age spesific fertility rate (ASFR), kebutuhan kontrasepsi atau KB yang tidak terpenuhi (unmet need) angka kematian ibu dan bayi, serta stunting yang sangat berhubungan dengan keluarga berencana.
 
"ASFR masih 26,64 per 1.000 wanita usia subur (usia 15-19 tahun), targetnya kan 20, ini salah satu permasalahan dalam kesehatan reproduksi. Jadi, sangat penting pendidikan kesehatan reproduksi ini khususnya bagi remaja," ujar Hasto.
 
Ia juga menekankan pentingnya sistem informasi yang masif tentang kesehatan reproduksi di sekolah dan keluarga melalui 600 ribu Tim Pendamping Keluarga (TPK) khusus untuk mencegah stunting, juga untuk mengedukasi para ibu hamil dan calon pengantin.
 
"Jadi saya kira kita butuh mendukung perempuan selama kehamilan dan nifas, juga perhatian pada balita, dan tentang stunting, saya percaya isu perempuan sangat penting, karena pemasangan alat kontrasepsi (KB) setelah melahirkan, kalau itu berhasil, saya kira stunting juga akan sukses turun," paparnya.
 
Jarak kelahiran, lanjut dia, juga perlu diperhatikan, idealnya 36 bulan sehingga tidak terjadi stunting.
 
Selain itu, sambung Hasto, permasalahan lain yang perlu diperhatikan dalam kerjasama BKKBN dan UNFPA ke depan yakni disparitas indeks pembangunan manusia (IPM) di seluruh provinsi di Indonesia yang masih sangat tinggi.
 
“Penurunan stunting ini sangat penting karena membuat IPM Indonesia lebih rendah dari Thailand, Vietnam dan Malaysia. Jadi, Pak Presiden Jokowi mengingatkan saya untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen di tahun 2024, ini target yang ambisius, mengingat IPM di berbagai provinsi sangat beragam," paparnya.
 
Untuk itu, ia berpesan agar kolaborasi penggunaan KB dengan tetap mengedepankan hak-hak perempuan untuk memilih KB terus dilakukan secara berkelanjutan, karena sangat berpengaruh terhadap penurunan stunting.

Baca juga: Wapres minta pemda fokus kawal target 'zero' stunting pada 2030

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023