Paris (ANTARA News) - Mayat sandera Prancis Philippe Verdon, yang diculik di Mali pada 2011 dan ditemukan tewas beberapa pekan lalu, diterbangkan pulang ke Paris, Rabu, kata satu sumber bandara.

Verdon diculik dari sebuah hotel di Mali timurlaut pada November 2011 oleh Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM) ketika sedang melakukan bisnis, demikian juga warga Prancis lain Serge Lazarevic, lapor AFP.

Keluarga dan kerabat berkumpul di sebuah ruangan di Bandara Charles de Gaulle, Paris, untuk menerima mayat Verdon, yang dipulangkan dengan pesawat Air France yang mendarat sekitar pukul 07.00 GMT (pukul 14.00 WIB), kata sumber itu.

Penculik pria berusia 53 tahun itu mengumumkan pada Maret, mereka telah membunuh Verdon, namun Paris tidak pernah mengkonfirmasi hal ini sampai mayatnya ditemukan di wilayah utara Mali dan mengidentifikasinya bulan ini.

Kementerian Luar Negeri Prancis mengumumkan, Minggu, mayat Verdon mungkin ditemukan pada awal Juli, dan Presiden Francois Hollande kemudian mengkonfirmasi tragedi itu.

AQIM mengatakan pada Maret, mereka memenggal Verdon sebagai pembalasan atas intervensi militer Prancis di Mali.

Pada akhir Juni kelompok itu menyatakan, delapan warga asing lain yang mereka sandera, termasuk lima orang Prancis, masih hidup, menurut laporan Kantor Berita Reuters.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013