Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan pemerintahnya tidak menganut paham proteksionisme dalam perdagangan internasional.

"Proteksionisme dalam perdagangan tidak kondusif untuk arus bebas barang, jasa dan modal, dapat mendistorsi alokasi sumber daya serta merugikan kepentingan konsumen," kata Mao Ning kepada pers di Beijing, China, pada Selasa.

Dia mengatakan hal itu untuk menanggapi Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath dalam Kongres Asosiasi Ekonomi Internasional pada Senin (11/12) yang mengatakan kebijakan pembatasan perdagangan dan investasi lintas batas negara meningkat dalam satu dekade terakhir.

Pada 2022, pembatasan baru dalam perdagangan barang, jasa dan investasi melonjak hingga 14 persen menjadi 2.600 kasus atau enam kali lipat dibanding pada 2013.

"Hal ini tidak berdampak baik bagi efisiensi produksi dan pemulihan serta perkembangan ekonomi dunia. Hal yang mengkhawatirkan adalah beberapa negara telah mendorong pemisahan dan pemutusan rantai pasok dengan dalih keamanan, dan menerapkan langkah-langkah pembatasan perdagangan atas nama 'pengurangan risiko'," kata Mao Ning.

Hal itu, kata dia, malah akan membuat dunia semakin tidak aman dan memicu lebih banyak risiko.

"Seperti ditekankan Presiden Xi Jinping, di dunia yang kian saling tergantung dan terintegrasi, keterbukaan, inklusivitas dan kerja sama yang saling menguntungkan adalah satu-satunya pilihan yang mungkin," ungkap Mao Ning.

Dia juga menyebutkan bahwa China selalu berkomitmen untuk membangun perekonomian dunia yang terbuka dan terus mendorong keterbukaan tingkat tinggi.

"Kami selalu percaya bahwa tidak adanya kerja sama menjadi risiko yang paling besar dan kegagalan pembangunan adalah ancaman keamanan terbesar. China siap bekerja sama dengan semua pihak untuk mewujudkan pembangunan dan kemakmuran bersama melalui kerja sama yang saling menguntungkan," ungkap Mao Ning.

Menurut IMF, lonjakan tajam proteksionisme terutama terjadi selama pandemi COVID-19 dalam bentuk restriksi ekspor barang medis seperti vaksin. Peningkatan tajam pembatasan ekspor/impor juga terjadi selama perang Rusia-Ukraina serta perang dagang Amerika Serikat-China.

Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo mengatakan negaranya akan mengambil tindakan sekuat mungkin untuk melindungi keamanan nasional terkait pembuatan cip oleh pabrikan China Huawei.

"Kami telah memperjelas posisi kami mengenai kontrol ekspor cip AS yang menargetkan China dalam beberapa kesempatan," kata Mao Ning.

Dia menambahkan bahwa penyalahgunaan dalam pengendalian ekspor seperti ini sangat merugikan hak dan kepentingan perusahaan China, mengganggu stabilitas industri cip dan rantai pasok global, melanggar prinsip ekonomi pasar dan persaingan yang sehat, serta tidak menguntungkan kepentingan siapa pun.

"Kami dengan tegas menolak hal ini," kata dia.

Menurut Mao Ning, ada kekhawatiran fragmentasi geoekonomi seperti sekarang akan membuat dunia terbelah menjadi dua blok perdagangan. Blok pertama adalah kelompok negara yang beraliansi dengan AS dan Uni Eropa, dan blok kedua terdiri dari negara-negara yang beraliansi dengan China dan Rusia.

IMF juga menyebut semakin banyak perusahaan multinasional yang hanya mau berdagang dengan negara yang punya hubungan dekat, dianggap teman atau punya kesamaan aliansi politik.

Fragmentasi global itu, menurut IMF, berpotensi menghilangkan secara permanen 2,3 persen produk domestik bruto (PDB) global.

Baca juga: China: AS dan EU juga punya catatan buruk dalam penegakan HAM
Baca juga: Meski diveto AS, China minta DK PBB tak setop tanggung jawab atas Gaza

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023