Bahan baku yang digunakan menghindari kompetisi dengan makanan dan bahan baku industri lainnya.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan tentang tantangan dan peluang dalam pengembangan sustainable aviation fuel (SAF) atau bioavtur yang merupakan bahan bakar penerbangan ramah lingkungan.

Tantangan pertama, yakni terbatasnya ketersediaan jumlah dan jenis bahan baku untuk produksi SAF.

"Bahan baku yang digunakan menghindari kompetisi dengan makanan dan bahan baku industri lainnya," ujar Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo saat Focus Group Discussion bertajuk "Biodiesel dan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan di Indonesia" yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Pengamat nilai positif Pertamina produksi bioavtur ramah lingkungan

Tantangan kedua, lanjut Edi, mengurangi biaya produksi hingga sebanding dengan bahan bakar avtur agar SAF layak secara ekonomi dan produksi dapat ditingkatkan secara signifikan.

Berikutnya tantangan ketiga perihal masih terbatasnya infrastruktur untuk produksi, penyimpanan, dan distribusi SAF. Tantangan keempat, yakni proses sertifikasi yang rumit.

Selanjutnya tantangan kelima, yaitu penelitian dan pengembangan teknologi dan inovasi proses yang berkelanjutan untuk menjadikan SAF sebagai bahan bakar aviasi yang affordable.

"Saat ini, yang sudah mau mulai mengembangkan kan Pertamina ke depan juga kami dengar ada beberapa badan usaha yang mulai tertarik untuk mengembangkan SAF ini," ucap Edi.

Tantangan berikutnya soal perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai manfaat SAF untuk mendorong dukungan yang lebih besar dari pembuat kebijakan dan investor.

Baca juga: KESDM catat distribusi B35 hingga 12 Desember capai 11,34 juta KL

Peluang dari pengembangan SAF, di antaranya permintaan domestik dan pasar internasional yang tinggi, potensi dan alternatif bahan baku domestik yang tersedia serta dukungan kebijakan pemerintah dan global untuk penggunaan SAF sebagai bahan bakar rendah karbon.

Oleh karena itu, ia mengharapkan langkah selanjutnya yang dapat dilakukan, yakni mengembangkan peta jalan bioavtur untuk penerbangan komersial dan mendorong produksi bioavtur dalam skala industri dengan harga keekonomian yang terjangkau.

Pada 27 Oktober 2023, Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan komersil perdana menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, Pertamina SAF atau bioavtur dengan rute penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta.

Perjalanan Pertamina SAF telah diinisiasi sejak 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi co-processing dari bahan baku refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari.

Melalui kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia hingga uji terbang pesawat komersil milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia.

Produk Pertamina SAF akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga.

Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023