Indonesia perlu memprioritaskan energi terbarukan pada jaringan listrik yang belum oversupply maupun di daerah-daerah di mana biaya energi fosil lebih tinggi
Jakarta (ANTARA) - Laporan Ernst & Young (EY) menyebutkan pemerintah Indonesia perlu memberikan dukungan yang kuat bagi investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dalam rangka transisi energi.

Energy Transition and Climate Partner di EY Singapura Gilles Pascual mengatakan berdasarkan laporan terbaru EY, banyak investor energi tertarik pada pasar Indonesia, namun mereka mengeluhkan kurang banyaknya proyek-proyek yang layak untuk diinvestasikan karena ada hambatan kebijakan dan proses perizinan.

“Bila hambatan struktural dari sisi kebijakan sudah ditangani dan lebih banyak proyek energi terbarukan dijalankan di Indonesia, maka akan terlihat semakin jelas bahwa harga pembangkitan listrik dari energi terbarukan lebih kompetitif dari bahan bakar fosil,” katanya dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Untuk meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi, Gilles menekankan pentingnya pembuat kebijakan untuk menerbitkan rencana penutupan dini PLTU batu bara.

Langkah tersebut dinilai krusial untuk menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan agar investor tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Gilles menyebut pemangku kebijakan dan PT PLN (Persero) juga perlu mempertimbangkan kajian dan publikasi lokasi dan titik koneksi jaringan prioritas yang akan dijadikan fokus pengembangan energi terbarukan. Langkah ini akan membantu pengembang untuk fokus menggarap wilayah tersebut dan menawarkan harga listrik yang lebih kompetitif.

“Untuk mendorong pertumbuhan, Indonesia perlu memprioritaskan energi terbarukan pada jaringan listrik yang belum oversupply maupun di daerah-daerah di mana biaya energi fosil lebih tinggi, seperti mengubah pembangkit berbasis diesel ke energi terbarukan,” katanya.

Adapun untuk jaringan listrik utama Jawa-Bali, rancangan solusi yang mengedepankan penghentian dini pembangkit bahan bakar fosil adalah suatu keharusan untuk memungkinkan pasar energi terbarukan berkembang dengan baik.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa pembuat kebijakan perlu membentuk badan khusus yang dapat membantu mengidentifikasi lahan yang sesuai untuk proyek pembangkit listrik angin dan surya, sekaligus membantu perizinannya.

Selain itu, perlu ada langkah standardisasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) sehingga memangkas jangka waktu negosiasi dengan PLN, sekaligus memberikan kepastian bagi pasar terkait alokasi risiko proyek.

Perbaikan kebijakan dan proses perizinan perlu dilakukan lantaran berpengaruh pada kelayakan proyek.

Laporan EY menyatakan bahwa hal ini berdampak langsung pada tingkat risiko proyek, penjadwalan waktu proyek, total biaya, serta kemampuan bank untuk mengukur risiko pembiayaan secara keseluruhan, sehingga mempengaruhi persyaratan pembiayaan dan membuat pinjaman menjadi lebih mahal.

“Bergantung pada tingkat keparahan risiko, faktor-faktor ini bahkan dapat membatasi akses ke pembiayaan yang sebenarnya telah tersedia,” katanya.

Di Indonesia, hambatan-hambatan spesifik yang teridentifikasi meliputi pertumbuhan kapasitas energi surya dan angin yang masih sangat bergantung pada penutupan PLTU yang lebih awal, kurangnya kejelasan dalam peraturan pengadaan dan prosedur tender, serta rendahnya tarif yang dinegosiasikan sehingga mempengaruhi potensi PJBL dijadikan jaminan pinjaman.

Menurut laporan “Net-Zero Pathways” International Energy Agency (IEA), Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.

Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah. Oleh karena itu, memfokuskan pengembangan sistem energi Indonesia pada sumber daya energi terbarukan akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan energi, serta mendukung target pengurangan emisi.

Seiring dengan berkumpulnya negara-negara di COP28 untuk membahas target mencapai kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar tiga kali lipat pada tahun 2030, pembuat kebijakan Indonesia dinilai perlu mempertimbangkan cara terbaik menciptakan lingkungan kebijakan dan peraturan yang mendukung untuk membuka jalan pada miliaran dolar investasi energi terbarukan yang sudah menanti.


Baca juga: UNS kembangkan hidrogen sebagai bahan bakar mobil
Baca juga: PLN gandeng perusahaan Prancis kembangkan pembangkit listrik hidrogen
Baca juga: Pertamina paparkan capaian program netral karbon di ajang COP28

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023