Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Widodo Muktiyo mengatakan bahwa fenomena rokok merupakan peristiwa yang tidak hanya memiliki dimensi sosial, tetapi juga dimensi teknologi.

Menurutnya dulu rokok sangat terkait dengan pemasukan petani tembakau serta ekonomi UMKM rakyat, tetapi teknologi memunculkan adanya rokok elektrik.

"Fenomena rokok ini kalau kita temukan di kalangan atas bukan hanya dari tembakau tapi sudah dengan rokok elektrik dan itu tidak pernah habis dan rasanya bisa macam-macam. Ini termasuk fenomena teknologi dan tidak ada hubungannya dengan cukai," kata Widodo dalam acara diskusi bertajuk "Policy Brief dan Pemantauan Nasional Harga Jual Rokok Tahun 2023 di Jakarta, Rabu.

Widodo menilai bahwa dimensi teknologi tersebut menjadi hal yang sangat menarik untuk ditelaah, terutama ketika melibatkan gerakan anti rokok.

Gerakan tersebut, kata dia, perlu memperhitungkan segmentasi masyarakat di mana tembakau cenderung dikonsumsi oleh kelas menengah ke bawah, sementara rokok elektrik lebih umum di segmen menengah ke atas.

Baca juga: Pakar: Produk tembakau alternatif solusi pengurangan bahaya tembakau
Baca juga: BPS: Masker hingga rokok eletrik masuk dalam penghitungan inflasi 2024


Ia juga menyoroti efektivitas daerah zona bebas rokok, tetapi juga mencatat tantangan budaya permisif di Indonesia.

"Reward dan punishment terhadap perilaku merokok penting untuk dipikirkan. Misalkan mahasiswa yang sejak kecil tidak merokok diberi penghargaan, atau masyarakat yang perilakunya sejak kecil tidak merokok diberi penghargaan juga," ujarnya.

Kendati demikian Widodo mengingatkan agar gerakan anti rokok tidak hanya mempertimbangkan aspek kesehatan serta menaikkan harga rokok.

"Harga rokok yang tinggi juga tidak selalu menjamin keberhasilan karena dapat memberikan beban kepada perokok menengah ke bawah dan memunculkan potensi kerawanan sosial," katanya.

Ia juga menunjukkan salah satu contoh paradoks di bandara, di mana kelas menengah atas masih memiliki area merokok, hal itu terbukti masih ada toleransi terhadap kebiasaan merokok.

Dalam menghadapi tantangan budaya merokok yang kuat, lanjut Widodo, rumusan strategis yang efektif untuk mengubah perilaku merokok secara keseluruhan perlu diterapkan dengan cara melibatkan aspek pembiasaan di masyarakat.

"Bangsa modern adalah bangsa yang harga rokoknya mahal, bangsa yang modern adalah bangsa yang perokoknya sedikit," kata dia.

Baca juga: Bea Cukai Musnahkan Rokok Ilegal Hasil Penindakan di Yogyakarta dan Tanjungpandan
Baca juga: GAPPRI minta pemerintah pertimbangkan dampak sosial RPP Kesehatan


Pewarta: Rivan Awal Lingga
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2023