Jakarta (ANTARA) - Hasilnya jauh dari sempurna karena menyerah kepada kompromi politik global dan tak terlalu mempedulikan realitas sains. Namun demikian, konferensi iklim 2023 di Dubai telah menyampaikan pesan tegas bahwa sistem energi global mesti berpaling dari energi fosil; batu bara, minyak bumi dan gas.

Itu adalah dua kalimat yang menarik yang menjadi pembuka analisis The Guardian mengenai hasil KTT Iklim di Dubai, Uni Emirat Arab, yang biasa disebut COP28.

Kenyataannya, Kesepakatan Dubai itu ditanggapi pro dan kontra. Para birokrat, politisi dan pengusaha menyambut baik kesepakatan COP28, sedangkan para ilmuwan dan aktivis lingkungan tak terlalu gembira membaca pesan konferensi iklim di Dubai itu.

Kekecewaan mereka tercurah pada fakta bahwa Kesepakatan Dubai cuma menyebutkan "transisi meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil", bukan "penghentian penggunaan bahan bakar fosil" seperti diinginkan sejumlah negara yang sudah menjadi korban pemanasan global.

Namun demikian, apa yang dicapai di Dubai tetap monumental, mengingat selama 30 tahun konferensi iklim PBB tak pernah berani menyinggung tegas mengenai pentingnya menurunkan penggunaan bahan bakar fosil yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), bahan bakar fosil menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca dan karbondioksida, masing-masing 75 persen dan 90 persen.

Ketika bahan bakar fosil dibakar, karbondioksida atau gas rumah kaca dalam jumlah besar terlepas ke udara, untuk memerangkap panas di atmosfer sehingga Bumi menjadi lebih panas.

Batu bara adalah yang paling kotor dari semuanya karena menyumbangkan 0,3 derajat dari rata-rata kenaikan 1 derajat Celcius suhu global, sedangkan minyak bumi yang melepaskan karbon dalam jumlah besar manakala dibakar, menyumbang sepertiga dari total emisi karbon dunia.

Bahkan gas alam yang dianggap lebih bersih saja, menyumbangkan satu per lima dari total emisi karbon dunia.

Saat ini rata-rata kenaikan suhu dunia adalah 1 derajat Celcius. Dalam keadaan ini pun, orang-orang yang hidup melalui tiga generasi, pasti merasakan perubahan Bumi yang kian panas yang membuat bencana menjadi lebih dahsyat dan pola tanam pertanian menjadi kacau.

Pada Perjanjian Paris 2015, 195 negara menyepakati batas pemanasan global di bawah dua derajat Celcius (2C) sampai akhir abad ini. Perjanjian Paris membidik kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5C dari suhu era Revolusi Industri, lebih dari seabad silam. Level ini aman ketimbang di atas 2C.


Bermuka dua

Kenaikan di atas 1,5C berisiko menaikkan permukaan air laut, memicu cuaca ekstrem, merusak keanekaragaman hayati dan spesies langka, menciptakan kelangkaan pangan, memperburuk kesehatan dan memicu kemiskinan.

Saat ini saja, ketika kenaikan suhu masih pada 1C, negara-negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik sudah terkena dampak pemanasan global. Daratan negara-negara kecil itu menyusut sampai beberapa di antaranya terancam hilang.

Itulah mengapa, bersama para ilmuwan dan aktivis lingkungan, negara-negara kecil itu menilai hasil COP28 di Dubai, belum cukup karena tak mengeluarkan pesan tegas mengenai perlunya menghentikan kecanduan pada bahan bakar fosil.

Mereka menilai hasil COP28 adalah kompromi yang tak mengubah status quo sehingga tak menjawab masalah pemanasan global.

Ironisnya, beberapa negara yang menjadi asal para ilmuwan dan para aktivis lingkungan paling vokal, juga bermuka dua, yang membuat mereka terlihat tak kredibel dalam memimpin dunia mengatasi krisis iklim.

Bahkan Uni Emirat Arab yang terus memompa minyak dan menjadi salah satu produsen bahan bakar fosil besar di dunia pun sempat dianggap tidak pantas menyelenggarakan COP28.

Mereka dikritik tidak serius mengatasi perubahan iklim karena enggan mengurangi produksi minyak dan menurunkan permintaan bahan bakar fosil.

Mereka juga tak cukup serius membantu negara-negara miskin dan berkembang dalam mengembangkan teknologi ramah lingkungan, beradaptasi dengan dampak iklim, dan menerima kompensasi atas kerugian dan kerusakan akibat emisi global yang mereka hasilkan.

Namun demikian, meniadakan bahan bakar fosil juga dapat menyengsarakan negara-negara berkembang dan miskin yang mesin ekonominya sangat tergantung pada bahan bakar fosil.

Ini salah satu kekhawatiran para pemimpin politik, karena persoalan bahan bakar tak hanya bisa membuat rezim jatuh, tapi juga menciptakan kekacauan sosial, konflik, perang dan destabilisasi, yang tak hanya menyengsarakan manusia tapi juga memiskinkan masyarakat.


Tak terhindarkan

Negara-negara miskin dan berkembang sendiri tak mendapatkan komitmen tegas dari negara-negara penghasil emisi, baik untuk bersiap menghadapi era tanpa bahan bakar fosil maupun sebagai ganjaran untuk peran sebagai paru-paru dunia yang mengerem laju pemanasan global.

Selama ini, negara-negara seperti China, Amerika Serikat, India, Rusia dan Jepang yang menjadi lima penghasil emisi terbesar di dunia, tak tegas mewujudkan komitmen finansial baik dalam kerangka perdagangan karbon maupun kompensasi untuk degradasi lingkungan global akibat bahan bahar fosil yang mereka bakar.

Beberapa kalangan seperti Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berusaha seimbang, dengan menegaskan sebuah era baru yang penting dalam memerangi pemanasan global, sedang dimasuki dunia.

"Bagi mereka yang menentang rujukan jelas mengenai penghentian bertahap bahan bakar fosil dalam teks COP28, saya ingin katakan bahwa penghentian penggunaan bahan bakar fosil sudah tak terhindarkan, suka atau tidak suka," kata Guterres dalam laman PBB.

Sedangkan utusan iklim Amerika Serikat, John Kerry, terpesona oleh semangat kerja sama yang membuat semua pihak duduk bersama mengatasi krisis iklim dan pemanasan global.

Apalagi teks kesepakatan COP28 juga memuat beberapa rekomendasi bagus. Salah satunya adalah penegasan bahwa semua pihak sepakat menaikkan kapasitas energi terbarukan sampai tiga kali lipat dan juga menggandakan efisiensi energi sampai 2030.

Penyebutan secara spesifik energi hijau seperti energi surya dan angin, yang untuk pertama kali terjadi dalam konferensi iklim menandakan dunia memberikan artikulasi lebih kuat mengenai pentingnya energi terbarukan dalam mewujudkan transisi energi yang bersih dan adil.

Beberapa kalangan seperti direktur SolarPower Europe, Mate Heisz, mendesak rekomendasi hijau itu segera ditindaklanjuti dengan aksi nyata.

Kesepakatan yang mementahkan keraguan kepada Uni Emirat Arab itu sendiri masih bisa dianulir tahun depan ketika Baku di Azerbaijan menjadi tuan rumah COP29. Produsen-produsen minyak seperti Rusia dan Arab Saudi mungkin akan mencoba lagi menghalangi komitmen lebih tegas menyangkut energi fosil.

Tapi untuk saat ini, sisi baiknya dunia sudah tak tabu lagi menegaskan kecanduan bahan bakar fosil mesti diakhiri, dan sebaliknya menganggap energi ramah lingkungan mesti menjadi tema zaman, kini dan nanti.

Baca juga: COP28 berakhir dengan konsensus tentang kesepakatan iklim
Baca juga: China dukung hasil COP28 Dubai
Baca juga: ADB: komitmen pemerintah Indonesia kuat terhadap transisi energi

Copyright © ANTARA 2023