Darwin (ANTARA News) - Nelayan Indonesia yang ditahan di Coonawarra, Darwin, meminta pemerintah dan TNI AL serius menumpas kapal-kapal pukat harimau (trawl) asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Permintaan atas nama sekitar 76 nelayan Indonesia yang ditahan di fasilitas penahanan sementara Imigrasi Australia itu disampaikan Sahril Harisa, kapten kapal "Bintang" asal Merauke, kepada Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, T.M. Hamzah Thayeb, yang berkunjung ke fasilitas tahanan berkapasitas sekitar 300 unit kamar itu, Rabu. Para nelayan itu mengatakan, pukat harimau itulah yang telah menjadikan nelayan Nusantara merana dan terpaksa menangkap ikan di perairan Negara Bagian Northern Territory (NT)-Australia, katanya. "Kapal-kapal pukat harimau dari Taiwan, Filipina, dan China leluasa mencuri ikan di perairan luar Biak, Papua Barat, sedangkan kapal-kapal trawl dari India, Thailand, Malaysia, dan juga China dengan enaknya menangkap ikan di laut Arafura. Kita hanya jadi penonton," katanya. Menurut Sahril, kapal-kapal pukat harimau asing itu umumnya berkapasitas 200 ton dengan peralatan pancing sepanjang "lima hingga 25 mil", sedangkan perahu-perahu nelayan seperti yang dinakhodainya hanya beroperasi untuk mencari sirip ikan hiu dengan alat tangkap yang tradisional. "Sayangnya, perahu-perahu kita tidak dilengkapi oleh peralatan radio calling (panggil-red.) sehingga kita tidak bisa meminta pertolongan TNI Angkatan Laut untuk mengusir trawl-trawl asing itu," katanya. Didampingi belasan rekannya, termasuk awal kapal "Seska" yang mengaku bermarga Sianturi dan berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, Sahril berulang-ulang meminta perhatian pemerintah dan TNI AL untuk segera menumpas kapal-kapal nelayan asing karena merekalah sumber masalah bagi para nelayan tradisional Indonesia. Kendati ia dan semua nelayan Indonesia serta nelayan asing lain, seperti Timor Leste dan Thailand, diperlakukan dengan sangat baik oleh para petugas sejak ditangkap dan selama ditahan di fasilitas tahanan imigrasi tersebut, ia mengaku "bosan dan ingin pulang." "Kita malu kalau terus begini. Jadi, tolonglah para nelayan asing yang mencuri ikan di perairan kita iu ditumpas habis," kata putra keturunan Makassar yang telah lama menetap di Merauke, Papua Barat itu. Menanggapi permintaan para nelayan Indonesia itu, Dubes Hamzah Thayeb mengatakan, masalah illegal fishing (nelayan Indonesia menangkap ikan secara ilegal-red.) memang tidak terlepas dari kehadiran kapal-kapal pukat harimau asing yang membuat mereka tersisih dalam persaingan di laut. Karena itu, Indonesia dan Australia perlu kembali mencoba pendekatan sub regional seperti kedua negara menangani kasus penyelundupan manusia dalam penyelesaian kasus illegal fishing itu mengingat banyak nelayan dari negara-negara lain di kawasan terlibat dalam kasus yang sama. Dalam kunjungan yang berlangsung lebih dari satu jam itu, Dubes Hamzah Thayeb didampingi Pejabat Konsul RI Darwin, Maimunah Vera Syafik, Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Teguh Wiweko, Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar, Sekretaris I KBRI Canberra, Arto Suryodipuro dan Sekretaris III KBRI Canberra, Caka Awal. Sebelum meninggalkan fasilitas tahanan dengan panjagaan ketat itu, Dubes Hamzah Thayeb menyerahkan sebuah gitar kepada para nelayan Indonesia sebagai "pendamping" mereka di kala senggang. Selama 2005, pihak berwenang Australia menahan 280 kapal ikan dan menyita 327 perahu nelayan Indonesia karena menangkap ikan secara tidak sah di perairan utara negara benua itu. Hingga 24 Juli 2006, Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Teguh Wiweko, mencatat sudah 221 perahu nelayan Indonesia ditangkap otoritas Australia karena kedapatan memasuki perairan utara negara itu. Umumnya nelayan kecil asal Merauke menangkap ikan secara ilegal di perairan negeri jiran berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa itu untuk mencari sirip ikan hiu, sedangkan kapal-kapal kayu yang lebih besar dan dilengkapi GPS (perangkat canggih sistem global penentu posisi-red.) mencari ikan kakap merah. Selain ditahan di rumah tahanan Darwin dan fasilitas penahanan milik imigrasi Berrimah, para nelayan Indonesia yang ditahan juga dikirim ke Penjara Bexter, Adelaide.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006