Rafah, Jalur Gaza (ANTARA) - Bayi-bayi yang lahir selama perang berkecamuk di Jalur Gaza antara pasukan Israel dan kelompok pejuang Hamas Palestina, menghadapi sulitnya hidup di pengungsian.

Um Mohammed al-Jadba, seorang nenek dari bayi perempuan kembar Alma dan Salma, memiliki harapan sederhana agar kedua cucunya bisa berada di ruangan yang bersih dan aman untuk dimandikan.

Sebaliknya, bayi-bayi tersebut tinggal di sebuah tenda di kamp pengungsi di Rafah, Gaza selatan.

Ibu Alma dan Salma tidak dapat menyusui bayi kembarnya karena tidak mendapat cukup nutrisi bagi tubuhnya untuk memproduksi ASI. Bahkan sejak dilahirkan, kedua bayi malang itu belum pernah mandi.

Alma dan Salma adalah bagian dari generasi Gaza yang lahir dari keluarga tunawisma dan miskin, yang berjuang untuk bertahan hidup dari ganasnya serangan Israel terhadap tanah mereka yang padat penduduk--hingga menyebabkan bencana kemanusiaan.

Sebagai nenek, Al-Jadba, setiap hari berjuang mencari air untuk membuatkan mereka susu formula dalam botol. Dia merebus air dalam termos di atas api di luar tenda.

“Mereka sekarang berumur satu bulan, dan belum dimandikan. Apakah Anda melihat tempat mereka tinggal?” kata dia sambil menggendong bayi di lekukan masing-masing lengannya, ketika dia duduk di dalam tenda pengungsian.

Tenda tersebut hanya beralas tikar dan selimut yang dibentangkan di atas pasir.

Beberapa barang digantung di kantong plastik dari bilah kayu lapis yang menopang atap tenda. Jika tidak, barang-barang berharga seperti pakaian dan botol air plastik akan bertumpuk di lantai, di sekitar tepi tikar.

Al-Jadba mengatakan empat bayi di keluarganya telah lahir di pengungsian sejak awal perang.

Menantu perempuannya melahirkan seorang anak perempuan, kemudian saudara iparnya melahirkan seorang anak laki-laki, sebelum kemudian menantunya yang lain melahirkan Alma dan Salma.

Sulit untuk memberi makan mereka semua, kata dia. Seluruh keluarga lapar.

“Tidak ada nutrisi (untuk ibu-ibu), tidak ada makanan untuk mereka makan, bagaimana mereka bisa menyusui? Tidak ada yang bisa mereka makan. Setiap hari saya memberi mereka (rempah) thyme, tidak ada lagi yang bisa mereka makan,” ujar dia.

Keluarga tersebut pertama kali pindah dari Kota Gaza ke Khan Younis, kota utama di Gaza selatan.

Si kembar lahir di sana, di Rumah Sakit Nasser. Kemudian, ketika pasukan Israel memperluas serangan darat mereka ke selatan, keluarga tersebut pindah lagi ke Rafah.

“Harapan kami adalah anak-anak ini dilahirkan di tempat yang aman, tanpa serangan udara, tanpa perang, tanpa pengungsian yang dialami anak-anak ini,” kata Al-Jadba sambil menggendong kedua bayi perempuan itu.

Salah satu bayi tertidur lelap, mengenakan pakaian tidur putih berhiaskan kupu-kupu warna-warni dan terbungkus selimut berwarna biru kehijauan.

Sementara bayi satunya mengenakan pakaian tidur putih polos dan selimut merah muda, memandang sekelilingnya dengan mata besar, mengayunkan tangan kecilnya dan mengarahkan wajahnya ke arah neneknya ketika dia berbicara.

“Seharusnya mereka dilahirkan di tempat yang aman, di ruangan yang bersih, untuk dimandikan. Kesalahan apa yang dilakukan anak-anak ini?” kata sang nenek.

Di tempat lain di tenda kemah tempat Alma dan Salma tinggal, keluarga lain yang memiliki bayi menghadapi kesulitan serupa.

Yasmine Saleh menggendong putrinya, Toleen, yang lahir pada 15 Oktober atau delapan hari setelah perang dimulai.

Baju tidur berwarna hijau cerah dan celemek kecil berwarna merah muda terlihat sedang dijemur agar kering di atap miring tenda mereka.

“Saya tidak pernah membayangkan akan melahirkan dalam situasi seperti ini, atau meletakkan putri saya di tenda dalam cuaca dingin dan beku,” kata Saleh, yang membungkus bayinya dengan berlapis-lapis selimut berwarna-warni.

Di dalamnya, sebuah tas kanvas berisi botol air plastik dan satu botol susu untuk Toleen disimpan di samping persediaan makanan keluarga, yaitu sepiring kecil pasta dan beberapa ubi dan paprika.

“Situasinya sangat sulit. Kami tidak makan banyak sehingga dia tidak mendapat ASI,” kata Saleh.

“Kami menginginkan kehidupan yang indah, aman, untuk bisa kembali ke rumah kami, jika bangunannya masih berdiri. Agar dia menjalani kehidupan yang baik, jauh dari perang, agar dia memiliki kehidupan yang stabil dan penuh keselamatan," ujar Saleh, menambahkan.

Israel melanjutkan serangan militer di Jalur Gaza pada 1 Desember setelah berakhirnya jeda kemanusiaan selama seminggu dengan Hamas.

Sedikitnya 19.453 warga Palestina tewas dan lebih dari 52.286 orang lainnya terluka dalam serangan udara dan darat tanpa henti di wilayah kantong tersebut sejak 7 Oktober, menyusul serangan lintas batas yang dilancarkan Hamas.

Korban tewas Israel dalam serangan Hamas mencapai 1.200 orang, menurut angka resmi.

Kurangnya makanan, air, bahan bakar, obat-obatan dan tempat tinggal yang layak membuat kelangsungan hidup menjadi perjuangan sehari-hari bagi 2,3 juta penduduk Gaza.

Sumber: Reuters
Baca juga: Kisah bidan Qeshta, bantu kelahiran dan melahirkan di Gaza
Baca juga: Bayi prematur dan pasien ICU di Gaza meninggal akibat kurang oksigen
Baca juga: Dokter Gaza: Bayi-bayi di inkubator bisa meninggal jika listrik padam

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023