Banda Aceh (ANTARA) - Peneliti Paleotsunami dari Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Prof Nazli Ismail menemukan bukti tsunami purba atau yang telah terjadi sebelum tsunami 2004 di pesisir Aceh Besar.

"Penemuan di Lamreh Aceh Besar ada yang paling dekat, yakni terjadi sekitar 50 tahun lalu," kata Prof Nazli Ismail di Banda Aceh, Selasa.

Guru Besar Bidang Geofisika USK itu menyampaikan berdasarkan penggalian yang dilakukan di wilayah barat Aceh Besar, yakni Pulot dan Seungko Meulat ditemukan banyak sekeuns tsunami-tsunami sebelum 2004, yakni sekitar 400-600 tahun lalu.

Baca juga: Bupati Aceh Barat: Peringatan 18 tahun tsunami motivasi untuk bangkit

Selain di Pulot dan Seungko Meulat, bukti paleotsunami juga ditemukan di goa tsunami yang ada di Lhong. Lalu, ditemukan tsunami purba yang tidak ada dalam catatan sejarah dengan rentang waktu tidak teratur, ada yang ribuan dan ratusan tahun lalu.

Tidak hanya itu, ketika ekstensi paleotsunami diperluas lagi ke Ujong Pancu sampai Lamreh, ditemukan dua bukti paleotsunami melalui sedimen yang terdapat di keramik China dan batu nisan yang diketahui ada pada masa Kerajaan Lamuri.

"Ketika dilakukan penggalian lagi, ditemukan dua kali kejadian tsunami purba pada rentang waktu 1300-1400 M," ujarnya.

Penelitian itu, kata dia, bagian dari pengkajian jejak sedimen tsunami purba sepanjang pantai barat Sumatera untuk memperkuat lesson learn pengurangan risiko bencana tsunami bagi masyarakat pesisir bekerja sama dengan Nanyang Technological University, Singapura.

"Ini menjadi rekonstruksi paleotsunami komprehensif pertama di sepanjang garis pantai Sumatera mulai dari Aceh sampai Bengkulu," katanya.

Rekonstruksi tsunami itu, jelas dia, dilakukan melalui tahapan analisis citra satelit untuk identifikasi lokasi pengendapan di oxbow lake, laut, dan coastal.

Kemudian, juga dilakukan coring untuk dapat sampling, analisis x-ray flourescence (XRF), serta penentuan umur dari organisme yang ada di dalam sedimen.

Selanjutnya, dilakukan analisis butir untuk mengidentifikasi endapan sedimen dan analisis foraminifera (pasir laut yang dikonfirmasi, termasuk spesies perairan dalam yang menunjukkan adanya tsunami).

"Analisis foraminifera itu menjadi indikator yang cukup penting untuk menganalisis sedimen tsunami, kita bisa kenal sumber gempa yang menyebabkan tsunami," ujarnya.

Baca juga: Nelayan Aceh tak melaut pada setiap Peringatan Tsunami 26 Desember

Baca juga: Museum Tsunami Aceh edukasi kebencanaan lewat pameran diorama


Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2010 itu, tidak hanya menemukan jejak sedimen paleotsunami, tetapi juga menemukan sumber tsunami pada 2004 yang ternyata berada di megathrust zona subduksi di wilayah barat Sumatera, dan berada di antara Pulau Sumatera dengan Andaman.

"Megathrust itu tidak hanya aktif di Andaman dan Sumatera saja, tetapi juga sepanjang barat Sumatera," katanya.

Karena itu, Prof Nazli menyimpulkan bahwa bencana tsunami merupakan bencana yang berulang dan menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa bencana tsunami bisa datang kapan saja, sehingga harus selalu siaga terhadap potensi yang ada.

"Hal yang paling penting bukan menghindar dari potensi tsunami, tetapi memberi pengetahuan agar masyarakat paham dan dapat siap siaga ketika terjadi bencana," kata Prof Nazli.

 

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023