Jakarta (ANTARA News) - Warga negara Uni Emirat Arab melewatkan bulan Ramadhan dengan saling berbagi pada sesama, salah satu contohnya adalah menggelar buka puasa gratis.

Para Emirati (warga UEA) biasanya memberikan makanan berbuka puasa secara cuma-cuma untuk masyarakat sekitar. 

Mereka memasang tenda berkapasitas 20-100 orang lengkap dengan pendingin udara di halaman rumah mereka. Semakin makmur tuan rumah, tenda yang disiapkan pun semakin besar. 

"Sejak setengah jam sebelum buka, sudah terdapat antrean panjang. Pada umumnya mereka adalah buruh berkebangsaan Bangladesh, Sri Langka, dan India," tulis Lely Meiliani, Sekretaris Pertama Penerangan Sosial Budaya KBRI Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab dalam surelnya pada ANTARA News.

Tidak hanya warga, tapi berbagai perusahaan, lembaga sosial, hotel, dan pihak kepolisian membagikan makanan saat jam buka puasa.

Hotel-hotel menyiapkan kotak makan untuk supir-supir taksi yang berada di depan hotel, sementara polisi membagikan makanan untuk pengendara yang masih berada di jalan saat waktu berbuka tiba.

Bahkan, Sheikh Zayed Grand Mosque, masjid agung di Abu Dhabi, setiap hari menyediakan menu iftar sebanyak sekitar 10.000 porsi. Menurut laman Gulf Today (01/08), selama pekan kedua dan ketiga Ramadhan, Syeikh Zayed Grand Mosque telah menyediakan hidangan berbuka puasa untuk 340.000 orang.

Mengingat banyaknya porsi yang disajikan, menu lengkap berisi potongan besar ayam atau kambing, nasi briyani, sup, yoghurt, buah jeruk atau apel, jus, minuman soda, dan kurma itu disiapkan oleh salah satu hotel bintang lima di Abu Dhabi.

"Untuk ukuran orang Asia, paket iftar (buka puasa) bisa untuk 2-3 kali makan karena porsinya besar," lanjut Lely.

Tidak hanya itu, acara buka puasa di Sharjah Ramadan Festival beberapa waktu lalu memecahkan rekor dunia sebagai meja buka puasa terpanjang sedunia, yaitu gabungan 410 meja sepanjang 1,003 km yang ditempati 2000 orang yang duduk berhadapan.

Biasanya, warga UEA berbuka dengan kue-kue manis, kurma, dan teh Arab. Makanan berat yang populer selama Ramadhan antara lain harish (daging kambing/ayam dengan campuran havermouth yang digiling hingga sangat halus hingga berbentuk seperti bubur dan sudah tidak terlihat lagi bentuk dagingnya, makanan ini selembut bubur sumsum), sorba (bubur dengan menu campuran ayam dan sayuran), nasi briyani, juga legeimat (adonan tepung dibentuk bulat-bulat, digoreng, dan dibubuhi pemanis).

Selama Ramadhan, aktivitas sehari-hari di negara persatuan tujuh emirat meliputi Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain itu disesuaikan agar masyarakat dapat beribadah lebih maksimal. 

"Jam kerja suami saya berkurang, masuk pukul 8 pagi dan pulang pukul 2 siang. Jadi sampai di rumah masih bisa istirahat dulu karena puasa kami memang lebih panjang, kira-kira 15 jam, " kata Tania Widya Dharma yang sudah menetap di Abu Dhabi selama dua tahun.

Tania mengatakan, pada awal puasa keluarganya sengaja tidak keluar rumah bila tidak ada keperluan mendesak karena suhu yang panas menyengat.

"Karena bulan puasa kali ini bertepatan dengan musim panas, bahkan di awal puasa temperatur di siang hari sempat mencapai hampir 50 derajat celcius," lanjutnya.

Suasana lingkungan pun relatif tenang. Tidak ada suara azan masjid atau ceramah yang "bersaing" satu sama lain karena hal tersebut dilarang otoritas setempat.

Bagi Tania, menjalankan ibadah puasa di UEA meninggalkan pengalaman yang berkesan. Ibadah tarawih berjamaah di Sheikh Zayed Grand Mosque dirasa syahdu karena masjid dijaga ketat oleh petugas untuk melarang ibu-ibu yang membawa anak kecil shalat di dalam masjid demi menjaga ketenangan. Sebagai gantinya, mereka dipersilakan shalat di tempat yang disediakan di luar masjid.

"Dan kami  diimami oleh imam-imam,qari-qari international seperti Sheikh Fares Abbad dan Sheikh Mishary Alafasi," ujarnya.

Restoran-restoran pun tutup pada siang hari dan dibuka menjelang waktu Maghrib hingga sahur. 

Pusat perbelanjaan menawarkan harga khusus selama Ramadhan, ada pula Ramadhan Fair di berbagai tempat yang menjual bermacam barang dan makanan. Meskipun begitu, menurut Tania kondisi mal tidak seheboh di Indonesia.

"Meskipun diskon di beberapa toko, tidak ada orang yang belanjanya membabi buta," jelasnya

"Mal sepi pada pagi hingga siang hari, menjelang buka puasa baru orang ke luar rumah, tapi tetap tidak seheboh dan bikin macet seperti di Indonesia," sambungnya.

Meriahnya Ramadhan disambut oleh media massa, seperti program televisi yang menayangkan liputan khusus, seperti kebiasaan Ramadhan para ekspatriat di UEA, termasuk komunitas Indonesia.

Lely mengungkapkan, kebiasaan masyarakat Indonesia merayakan Ramadhan cukup mendapat perhatian dari media setempat. Salah satunya harian berbahasa Arab "Al Ittihad" yang datang ke KBRI untuk meliput menu-menu berbuka puasa tanah air.

"Selalu ada berita-berita Indonesia tentang Ramadhan, tapi tidak dengan kebiasaan Ramadhan di negara muslim lain. Kalaupun ada sangat sedikit," katanya.

"Berita tersebut variatif, mulai dari fashion Ramadhan hingga masyarakat Indonesia yang tengah membeli emas untuk berlebaran," lanjutnya.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013