Jatuh cinta pada Pulau Osi layaknya jatuh hati kepada sosok pujaan. Kenangannya tidak akan pernah pergi, ia akan selalu memanggil untuk kembali.
Ambon (ANTARA) - Bagi pelancong pemburu objek wisata alam menawan, waktu tempuh berjam-jam bukanlah rintangan. Membelah lautan pun akan menjadi keasyikan karena di sinilah wisatawan mulai menikmati petualangan.

Setidaknya membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 4,5 jam dari pusat Kota Ambon untuk sampai di Pulau Osi di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku.

Bagi masyarakat Kota Ambon, Pulau Osi memang cukup tenar sebagai salah satu destinasi wisata yang layak dikunjungi setiap pelancong yang datang ke Maluku.

Lokasi wisata yang berada di bagian barat Pulau Seram ini menawarkan keindahan panorama lautan lengkap dengan rumah-rumah panggung yang unik nan menarik dengan dikelilingi rimbunnya tanaman bakau.

Untuk sampai ke Pulau Osi, wisatawan harus menggunakan beberapa moda transportasi. Dari Kota Ambon, baik menggunakan roda empat dan roda dua, wisatawan harus menuju ke Pelabuhan Hunimua di Maluku tengah (Malteng).

Kemudian menumpang kapal feri menuju Pelabuhan Waipirit. Dibutuhkan waktu 1,5 sampai 2 jam, tergantung kapal feri yang beroperasi.

Tiba di Pelabuhan Waipirit Seram Bagian Barat, untuk sampai ke Pulau Osi dibutuhkan 1 jam perjalanan melewati beberapa desa seperti Waisarisa, Piru, hingga melewati Dusun Pelita Jaya.

Sepanjang perjalanan menuju Dusun Pelita Jaya untuk sampai ke Pulau Osi, wisatawan akan disuguhkan dengan indahnya pemandangan panorama nan unik dari hamparan padang rumput pada sisi kanan dan kiri sejauh 3 kilometer yang dimulai dari Kantor DPRD Seram Bagian Barat.

Pada tempat ini biasanya para wisatawan berhenti untuk  mengabadikan momen dengan berswafoto berlatar padang rumput luas yang berbukit-bukit.


Dusun Pelita Jaya

Setelah melewati jalanan dengan hamparan padang rumput di sisi kanan dan kiri, wisatawan akan sampai ke Dusun Pelita Jaya. Ini adalah salah satu dusun terdekat dengan ekowisata Pulau Osi selain Resitlemen Pulau Osi.

Dusun Pelita jaya terletak 3 kilometer dari spot ekowisata Pulau Osi. Dusun ini dihuni sekira 300 keluarga.

Masyarakat Dusun Pelita Jaya umumnya bekerja sebagai nelayan. Mayoritas warga di Dusun ini berasal dari Sulawesi Tenggara, yang sudah bermukim di sana turun-temurun sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.

Dusun Pelita Jaya seolah menjadi tempat persinggahan sementara bagi siapa pun yang ingin melancong ke Pulau Osi. Apalagi di dusun ini terdapat dua penginapan dengan harga terjangkau.

Bagi wisatawan backpacker, Dusun Pelita Jaya bisa menjadi alternatif untuk menghemat biaya  di Pulau Osi karena harga penginapan di dusun ini lebih terjangkau dibandingkan harga menginap di resor Pulau Osi.


Ekowisata Pulau Osi

Dari Dusun Pelita Jaya, hanya dibutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke spot ekowisata Pulau Osi dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Dusun Pelita Jaya dan spot ekowisata Pulau Osi dihubungkan dengan sebuah gapura dengan jembatan kayu sepanjang 1 kilometer. Dari gapura itu tersusun rapi sebuah jembatan kayu selebar 2,5 meter menuju rumah-rumah panggung di Pulau Osi.

 
Gapura menuju Ekowisata Pulau Osi. ANTARWA/DedyAzis


Bagi pengendara roda dua, mereka bisa langsung menuju ke rumah-rumah panggung di atas air laut tersebut. Namun bagi mereka yang datang dengan mobil, warga setempat menyediakan jasa angkutan ojek untuk mengantarkan mereka.

Seorang pria tua yang akrab disapa La Samadu oleh warga setempat terlihat siap menunggu kedatangan wisatawan. Bukan untuk apa-apa, namun tidak ada wisatawan yang bisa masuk ke spot ekowisata Pulau Osi tanpa melewati La Samadu.

Sebagai penjaga portal menuju Pulau Osi, La Samadu memang mengutip uang masuk.

"Kalau mobil belum bisa masuk. Jadi hanya untuk motor dan pejalan kaki. Uangnya kami gunakan untuk rehab jembatan. Jembatannya kan sudah dua kali rehab ini,” ujarnya.

Uang yang ia peroleh dari menjaga portal jembatan diserahkan ke kas Dusun Pulau Osi untuk perbaikan jembatan.

“Kalau ada kayu yang rusak, saya bilang Kepala Dusun untuk beli kayu. Nanti saya yang pantau kalau ada jembatan rusak, sekalian saya juga yang perbaiki,” katanya.

Sepanjang jembatan kayu yang dilewati, rimbunnya tanaman bakau atau mangrove seolah menjadi labirin penunjuk arah menuju keindahan tiada tara.

Memberikan kesejukan tersendiri bagi wisatawan yang melewatinya. Rugi rasanya jika tak mengabadikan momen di jembatan itu.

Sampai di Pulau Osi, kondisi lelah dan letih yang dialami siapa pun akan terbayarkan. Hamparan laut tenang yang memantulkan warna hijau kebiruan seolah memberikan nuansa bening bagi yang melihatnya.

Tak perlu berenang jika ingin melihat ikan-ikan dan biota laut seperti rumput laut, terumbu karang, hingga bintang laut di perairan Pulau Osi. Dengan mata telanjang sekelompok ikan, yang biasanya menjadi hiasan akuarium, gerakan berenang ikan seolah tarian menyambut wisatawan yang datang.

Tak terdengar deburan ombak, namun kicau burung jadi instrumen penenang suasana di Pulau Osi.

Jika langit Pulau Osi sedang cerah, hangatnya sentuhan Matahari menjadi pelengkap ramahnya Pulau Osi.

Pada malam hari, meskipun tak menggunakan lampu, wisatawan akan diterangi dengan sayup-sayup cahaya bulan dengan bintang-bintang bertebaran sejauh mata memandang.

Deretan rumah-rumah panggung yang menjadi penginapan bagi para wisatawan tersusun rapi menghadap ke sebuah pulau di tengah lautan. Masyarakat setempat menyebut pulau itu dengan sebutan Pulau Buntal.
Seorang anak berjalan di jembatan kayu Pulau Osi. ANTARA/DedyAzis


Tak banyak sumber atau referensi kredibel tentang Pulau Buntal, namun kehadirannya menambah eksotisnya Pulau Osi yang memukau.

Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku telah melakukan inventarisasi objek wisata unggulan di kabupaten bertajuk "Saka Mese Nusa" itu

"Kunjungan wisatawan ke SBB mulai meningkat ke sejumlah destinasi wisata yang menjadi sasaran wisatawan, salah satunya Pulau Osi, Air Putri Waiyoho, dan Kairatu Beach," kata Kepala Dinas Pariwisata Seram Bagian Barat Jems Riklof Kapuate

Pulau Osi secara karakteristik ada dalam otoritas pengelolaan daerah konservasi, sedangkan kewenangan pemda sejauh ini masih terbatas. Oleh karena itu, sampai saat ini pengelolaannya masih dilakukan swadaya masyarakat setempat.

Selain sebagai nelayan, masyarakat Pulau Osi sebagian besar hidup dari geliat objek ekowisata tersebut.

Mereka memanfaatkan peluang Pulau Osi sebagai ekowisata dengan membuat keramba ikan untuk diolah sebagai kuliner khas di Pulau Osi.


Kuliner Pulau Osi

Seperti kebanyakan lokasi wisata lainnya, Pulau Osi juga memiliki kuliner andalan yang tak kalah nikmat di lidah penikmat boga.

Ikan bakar di Pulau Osi berbeda rasanya dengan ikan bakar yang dijual di perkotaan. Warga lokal menyebutnya "baru satu kali mati". Pasalnya, ikan bakar di Pulau Osi adalah ikan segar yang diangkat langsung dari keramba kemudian dibakar.

Pemilik rumah makan di Pulau Osi, Sarmin, mengatakan bahkan setiap libur Lebaran, semua restoran selalu ramai dikunjungi, termasuk miliknya.

Mulai dari warga lokal yang datang bersama keluarga dan teman-teman hingga warga kota yang jauh-jauh datang sampai menyewa kamar.

Tak hanya sayuran, menu andalan orang Maluku, colo-colo, juga disediakan. Rasanya tak lengkap jika mengunjungi Maluku tanpa menikmati ikan bakar dan colo-colo khasnya.

Colo-colo merupakan lalapan mentah berkuah yang terdiri atas bawang merah, kemangi, tomat, jeruk limau, cabai rawit, sedikit garam, dan minyak goreng. Ada juga menggunakan kecap sebagai pelengkap.

Menikmati ikan bakar Pulau Osi di tengah jernih dan tenangnya hamparan laut yang luas menjadi penutup perjalanan siapa pun ke Pulau Osi.

Pulau Osi rasanya tak hanya menyuguhkan ekowisata atau keindahan alam. Nuansa romantisnya juga menyimpan sejuta kenangan bagi siapa pun yang datang. Itulah yang bikin banyak pelancong jatuh cinta pada pulau ini.

Jatuh cinta pada Pulau Osi layaknya jatuh hati kepada sosok pujaan. Kenangannya tidak akan pernah pergi, ia akan selalu memanggil untuk kembali.


Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024