Ini demi equal playing field.
Jakarta (ANTARA) - Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai, penetapan pajak dan cukai atas rokok elektrik sebesar 10 persen dan 15 persen oleh pemerintah merupakan langkah yang sudah tepat.

Aturan tersebut tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

“Ini demi equal playing field. Karena rokok konvensional sudah dikenakan pajak rokok, sudah seharusnya rokok elektrik dikenakan pajak rokok. Dan secara waktu, rokok elektrik sudah kelonggaran dalam implementasi. Seharusnya, ketika dikenakan cukai rokok, pajak rokok elektrik dikenakan namun pemerintah baru mengenakannya sekarang,” kata Fajry kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Penetapan cukai rokok elektrik yang lebih tinggi dibandingkan cukai rokok tembakau juga dinilai lebih adil mengingat harga rata-rata rokok elektrik atau yang sering disebut vape relatif murah.

Pemerintah sendiri tetap mempertahankan tarif cukai hasil tembakau (CHT) serta pajak rokok tembakau sebesar 10 persen hingga 2024 ini. Hal itu telah ditetapkan melalui PMK No 191 Tahun 2022.

Kendati demikian, menurut Fajry seharusnya pemerintah harus tetap mengajak para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam merumuskan PMK terkait perubahan tarif cukai atau pajak atas industri rokok elektrik.

“Hanya saja, seharusnya pemerintah mengajak stakeholder seperti asosiasi dalam merumuskan kebijakan agar tidak ada penolakan atau menjadi gaduh di publik," jelasnya.

Senada dengan Fajry, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono juga menilai penetapan tarif atas rokok elektrik dan pajak rokok elektrik sudah tepat. Dengan adanya aturan tersebut, maka diharapkan aspek pengendalian konsumsi dan penerimaan negara melalui cukai menjadi optimal.

“Secara sederhana, harga atas pembelian rokok yang harus ditanggung konsumen meningkat. Dengan demikian, diharapkan konsumsi masyarakat atas rokok menjadi turun atau dapat lebih dikendalikan,” tutur Prianto.

Prianto lanjut menjelaskan, dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pengenaan cukai dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan pajak rokok oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov). Keduanya merupakan bentuk pajak yang dapat memiliki minimal dua fungsi.

Fungsi pertama adalah untuk menambah penerimaan pemerintah sehingga pemerintah dapat melakukan redistribusi pajak tersebut berupa belanja pemerintah. Fungsi kedua adalah earmarking, yaitu penerimaan pajak tersebut digunakan untuk mengatasi secara khusus dampak negatif dari konsumsi rokok.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman saat konferensi pers Kinerja dan Realisasi APBN 2023 menyampaikan bahwa, pengenaan pajak atas rokok elektrik lebih menekankan tujuan memberikan keadilan daripada soal penerimaan negara.

“Pertimbangan utama dari penerapan pajak rokok elektrik itu bukan dari aspek penerimaan, tetapi lebih soal memberikan keadilan atau level of playing field,” kata Luky.

Dirinya mengungkapkan, penerimaan cukai rokok elektrik pada 2023 tercatat sebesar Rp1,75 triliun atau hanya 1 persen dari total penerimaan CHT dalam setahun. Artinya, jika tahun ini dipungut pajak rokok elektrik penerimaannya hanya sekitar Rp175 miliar.

Oleh sebab itu, sambung dia, pengenaan pajak rokok bukan soal penerimaan negara, melainkan memberikan keadilan lantaran rokok konvensional telah dikenakan pajak sejak 2014.

Baca juga: Kemenkeu: Pajak rokok elektrik demi beri keadilan
Baca juga: Pemerintah tetapkan Pajak Rokok Elektrik berlaku mulai 1 Januari 2024

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024