Jakarta (ANTARA) - Pertanyaan mengenai bagaimana dan kemana masa depan Indonesia, muncul, seiring dengan dinamika politik dan ekonomi, akhir-akhir ini.

Perubahan dan ketidakpastian di berbagai sektor terjadi sangat cepat dan terus-menerus. Di tahun politik ini, Indonesia sebagai negara demokrasi yang aman, dinilai mampu meningkatkan perekonomiannya melalui sektor riil.

Memang tahun politik menjadi tantangan bagi semua, karena potensi apapun bisa terjadi. Jika terlaksana dengan baik, maka akan mendatangkan dampak positif bagi seluruh bangsa, namun hal sebaliknya juga harus diantisipasi.

Meski begitu bangsa Indonesia harus tetap optimistis, pesta demokrasi akan berjalan dengan baik dan mampu memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional.

Kondisi pertama yang menjadi pertimbangan serius adalah terkait proses demokrasi di era Presiden Jokowi. Berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi, menunjukkan indeks kebebasan di Indonesia yang perlu untuk terus ditingkatkan.

Pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Imron Cotan, dalam Webinar Nasional Moya Institute, Kamis 11 Januari 2024, mengatakan perlu refleksi yang mendalam agar kebebasan sipil dan penegakan hukum di Tanah Air semakin baik dan jangan sampai diskriminatif.

Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif akan membawa pada indeks kebebasan yang terjun bebas.

Selanjutnya mengantisipasi bersama agar kasus korupsi tidak semakin merajalela. Kasus-kasus besar, seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara, jangan lagi menjadi berita utama yang menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar.

Apalagi, pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5 persen harus didongkrak lebih tinggi agar tidak menyulitkan Indonesia keluar dari middle-income trap.

Integritas pemilu dan regresi demokrasi harus menjadi topik pembahasan penting di kalangan masyarakat luas.

Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang harus dihapuskan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan menguatkan legitimasi pemerintahan.

Indonesia harus mampu membuktikan bahwa prediksi dunia internasional keliru dimana mereka mengkhawatirkan turunnya kepercayaan publik di Indonesia terhadap sistem demokrasi, sebagaimana tercermin dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh The New York Times, The Guardian, dan The West Australian, beberapa hari belakangan ini.

Mereka sempat mengkhawatirkan fenomena regresi demokrasi Indonesia, dan politik dinasti yang dinarasikan dibangun Presiden Jokowi, dengan diloloskannya Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres oleh MK.

Menjawab pertanyaan siapa kandidat yang akan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045, Prof. Imron menegaskan bahwa capres yang tepat adalah mereka yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan yang tidak memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik.


Politisasi bansos

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan dalam pesta demokrasi hal yang salah satunya signifikan adalah menghindari penggunaan fasilitas negara atau program oleh pejabat petahana untuk kepentingan politik.

Salah satunya bantuan sosial (bansos) yang tidak boleh diseret untuk kepentingan politik atau dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik dalam pesta demokrasi.

Pengucuran bansos dilakukan untuk tujuan awal sebagai jaring pengaman sosial dan pengentasan kemiskinan ekstrem. Bukan karena untuk meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Bantuan harus digunakan sebagaimana tujuannya untuk memperluas penciptaan lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan, serta memperluas akses terhadap kesehatan.

Mengenai kandidat capres ideal, masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil potensi risiko kerugiannya bagi bangsa Indonesia.

Pada calon yang memiliki identitas dan karakter yang baik yang mempunyai semangat dan keinginan yang besar untuk membangun bangsa ini, masyarakat bisa melabuhkan pilihannya.

Johan Silalahi, pendiri Negarawan Center, menekankan pentingnya agar presiden dan jajarannya untuk senantiasa menjaga netralitas dalam Pemilu 2024, meskipun ada anggota keluarganya yang terlibat dalam pencalonan.

Kesadaran bahwa keterlibatan atau cawe-cawe dalam pilpres akan berpotensi melanggar konstitusi perlu untuk sangat ditegaskan.

Terkait banyaknya persoalan yang kini dihadapi bangsa ini, Indonesia memerlukan pemimpin sebagai harapan baru untuk mewujudkan Indonesia maju.

Seluruh elemen bangsa ini harus bertekad berjuang sekuat tenaga untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu 2024 memilih pemimpin Indonesia pasca-Jokowi agar Indonesia mampu mencapai masa depan yang gemilang.

Mukhaer Pakkanna, ekonom Muhammadiyah, mengatakan dalam bidang ekonomi, keadilan harus tegak untuk mencegah terjadinya intoleransi ekonomi di Indonesia.

Istilah “dwifungsi oligarki”, yaitu perkawinan politik dan bisnis tidak boleh terjadi di Indonesia.

Hal seperti ini memungkinkan terjadinya dominasi kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi. Hal itu akan berbahaya karena memicu eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik.

Selain itu, ke depan, pemimpin yang terpilih secara demokratis dituntut untuk mampu menaikkan tingkat pendidikan SDM Indonesia yang kini mayoritas hanya menjalani wajib belajar 9 tahun alias SMP.

Hal ini mendesak untuk mengalihkan industri yang berkembang tidak hanya terfokus di industri ekstraktif, yang lebih menggunakan otot daripada otak.

Namun industri hijau yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan membuka lebih banyak kesempatan kerja.

Hingga pada akhirnya, Pemilu 2024 menjadi instrumen milik bangsa ini untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh elemen masyarakat.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024