Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah bertekad memperbaiki neraca transaksi berjalan melalui paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang diumumkan Jumat (23/8), yang dijadikan sebagai isu utama karena defisitnya pada triwulan II-2013 relatif tinggi.

Defisit neraca transaksi berjalan yang relatif tinggi itu menurut sejumlah kalangan menjadi salah satu penyebab anjloknya nilai tukar rupiah dan harga saham akhir-akhir ini, selain adanya faktor eksternal berupa rencana bank sentral AS (The Fed) mengurangi pembelian aset keuangan seperti obligasi.

Perekonomian Indonesia akhir-akhir ini memang memburuk, ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga menembus Rp11.000 per dolar AS dan rontoknya harga saham yang ditandai merosotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga level 4.169 pada penutupan Jumat (23/8).

Tidak hanya pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga secara serentak mengeluarkan kebijakan yang sifatnya sinergi dengan kebijakan pemerintah tersebut.

Defisit transaksi berjalan terjadi karena ekspor barang dan jasa lebih kecil dari impor barang dan jasa.

Defisit transaksi berjalan Indonesia meningkat dari 5,8 miliar dolar AS (Rp58 triliun) atau 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,8 miliar dolar AS (Rp98 triliun) atau sekitar 4,4 persen dari PDB pada Triwulan II-2013.

Jika digabungkan dengan transaksi modal dan finansial, berupa investasi langsung dan portofolio, terbentuk neraca pembayaran.

Transaksi modal dan finansial sejauh ini lumayan, tapi karena transaksi berjalan defisit, maka neraca pembayaran triwulan II-2013 masih defisit 2,5 miliar dolar AS (25 triliun). Angka defisit ini turun karena pada triwulan sebelumnya mencapai 6,6 miliar dolar AS (Rp66 triliun).

Dampak dari defisitnya neraca pembayaran adalah penyusutan cadangan devisa. Jumlah cadangan devisa pada akhir Juni 2013 turun menjadi 98,1 miliar dolar AS (Rp981 triliun).



Kebijakan pemerintah

Dalam paket kebijakan memperbaiki defisit transaksi berjalan itu pemerintah menghapus pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) untuk produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah.

Pemerintah juga menurunkan impor migas dengan memperbesar biodiesel dalam solar untuk mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor.

Pemerintah menetapkan pajak barang mewah lebih tinggi untuk mobil "completely built up" (CBU) dan barang-barang impor bermerek dari rata-rata 75 persen menjadi 125 persen hingga 150 persen.

Pemerintah juga mengupayakan peningkatakan ekspor melalui pemberian insentif tambahan pengurangan pajak bagi perusahaan padat karya.

Untuk mempercepat investasi pemerintah menyederhanakan perizinan dan mengefektifkan layanan satu pintu dan mempercepat peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investasi.

Selain itu pemerintah juga mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral logan dan tembaga dengan memberi insentif berupa "tax holiday" (pembebasan pajak) dan tax allowance (pengurangan pajak), serta mempercepat penyelesaian investasi yang sudah ada.

Berkaitan dengan itu, pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati minta pemerintah agar menjamin ketersediaan dan kelayakan infrastruktur untuk meningkatkan investasi.

Menurut Enny, masalah infrastruktur harus menjadi prioritas utama dalam mengembangkan investasi dibandingkan insentif pajak ataupun DNI.

"Pemerintah harus bisa menjawab masalah krusial terlebih dahulu karena ini berkejaran dengan waktu, yakni infrastruktur agar memberikan kepastian kepada pengusaha yang akan berinvestasi," katanya.

Dia berpendapat jika infrastuktur, perizinan, kepastian lahan, maupun insentif pajak bisa berjalan efektif, maka investasi akan bisa digenjot dengan cepat.



Kebijakan BI

Bersamaan dengan kebijakan pemerintah tersebut, Bank Indonesia (BI) juga menerbitkan lima kebijakan. Kebijakan itu adalah BI memperluas jangka waktu term deposit valas yang saat ini 7, 14, dan 30 hari menjadi 1 hari sampai dengan 12 bulan. Tujuannya untuk meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa oleh bank umum di BI.

BI juga merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah melakukan penjualan devisa hasil ekspor (DHE). Kebijakan ini bertujuan memberikan kemudahan bagi eksportir melakukan pembelian valas menggunakan underlying dokumen penjualan valas.

Selanjutnya, BI menyesuaikan ketentuan transaksi "forex swap" bank dengan BI yang diberlakukan sebagai "pass-on" transaksi bank dengan pihak terkait, yang bertujuan meningkatkan kedalaman transaksi derivatif.

BI juga merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah (VOSTRO) milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi yang berasal dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta surat berharga negara (SBN).

Tujuannya untuk mengelola permintaan valas oleh nonresiden tanpa mengurangi aspek kehati-hatian bank dalam melakukan pinjaman luar negeri.

Yang terakhir, BI menerbitkan sertifikat deposito Bank Indonesia (SDBI) yang bertujuan memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi perbankan untuk mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat diperdagangkan, yang pada gilirannya dapat mendorong pendalaman pasar uang.

"Sinergi kebijakan ini sangat strategis karena selain ditujukan untuk menangani ketidakpastian jangka pendek, diharapkan dapat pula secara struktural mengatasi ketidakseimbangan eksternal sehingga perekonomian menjadi lebih sehat dan sustainable dalam jangka panjang," kata Gubernur BI Agus D W Martowardojo.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan tentang pembelian kembali saham atau buy back yang dikeluarkan oleh emiten atau perusahaan publik dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan.



Isu Utama

Menteri Keuangan M Chatib Basri menjelaskan bahwa upaya mengatasi defisit neraca pembayaran terutama bagian transaksi berjalan, menjadi isu utama karena defisit triwulan II-2013 relatif tinggi.

Menurut dia, defisit transaksi berjalan akan makin mengecil pada triwulan III-2013, karena dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Juni, mulai terasa pada sektor impor migas.

Selain itu, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki sistem logistik untuk distribusi barang agar suplai tetap terjaga dan menyiapkan anggaran melalui ruang fiskal untuk belanja infrastruktur.

Chatib mengatakan pembenahan struktural ini merupakan antisipasi secara internal yang dapat dilakukan, karena defisit transaksi berjalan yang masih relatif tinggi hingga pertengahan tahun, menyebabkan pelemahan rupiah dan anjloknya bursa saham.
(A023/H-KWR)

Oleh Ahmad Buchori
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013