Jakarta (ANTARA) - Pengamat komunikasi politik Henri Subiakto mempertanyakan proses di balik penangkapan pegiat media sosial Palti Hutabarat yang diduga menyebarkan berita bohong.

"Ini harus ada penjelasan. Harus dijelaskan proses sebelumnya seperti apa. Sudah ada belum yang namanya katakanlah gelar perkara?" kata Henri ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga itu mengatakan jika tidak ada proses gelar perkara, maka keabsahan penangkapan tersebut perlu dipertanyakan.

Dia menyebut posisi Palti Hutabarat dalam kasus yang dituduhkan kepada dirinya sama seperti pengguna media sosial lain, yakni menyebarkan suatu rekaman peristiwa.

"Kalau tanpa seperti itu (gelar perkara), saya menilai ada penerapan hukum yang salah, pasal yang salah. Karena apa? Karena kan pelaku ini kan sebenarnya seperti orang-orang biasa, hanya melakukan semacam repost (unggah ulang) atau nge-share (menyebarkan) sebuah informasi yang tidak lain adalah hasil rekaman suatu peristiwa," jelasnya.

Baca juga: Pakar komunikasi: Budaya digital optimalkan transformasi digital

Ketua Tim Antar-Kementerian dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Tahun 2016 tersebut menambahkan justru isi rekaman peristiwa yang diunggah ulang oleh Palti yang bermasalah.

Sehingga, peristiwa tersebut seharusnya ditelisik terlebih dahulu kebenarannya.

"Peristiwanya yang bermasalah. Jadi, peristiwa itu yang harusnya kemudian diinterogasi dahulu. Itu benar atau tidak? Kenapa sampai terjadi seperti itu?" tuturnya.

Henri juga menilai penggunaan Pasal 32 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagai dasar penangkapan Palti juga kurang tepat.

Pasal 32 UU ITE, kata dia, di antaranya melarang perbuatan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

"Pasal 32 ini lebih cocok untuk para hacker (peretas), bukan orang yang repost, bukan orang yang menyebarkan sebuah informasi yang informasinya juga sudah tersebar di mana-mana," ujarnya.

Baca juga: Pemerintah telah selesaikan Pedoman Implementasi UU ITE

Hal senada juga diunggah Henri pada akun X @henrysubiakto, Jumat siang. Menurut Henri, polisi harus melakukan gelar perkara dengan menghadirkan ahli untuk menunjukkan pelanggaran hukum yang dilakukan.

"Polisi jangan asal melaksanakan pesan tanpa mengkaji norma secara benar. Harus ada gelar perkara dengan menghadirkan ahli yang menunjukkan sudah ada pelanggaran hukum. Kalau sudah ada, umumkan siapa ahlinya, tunjukkan pelanggaran hukumnya. Saya siap memberi keterangan ahli terkait ITE kasus ini," demikian tulis Henri seperti dikutip Jumat malam.

Sebelumnya, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri menangkap Palti Hutabarat karena diduga menyebarkan berita bohong.

Baca juga: Polri tangkap penggiat medsos diduga sebar berita bohong

"Kami sudah menelusuri, yang pertama adalah benar bahwasanya proses penangkapan telah dilakukan oleh Dittipidsiber Bareskrim Polri," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, Jumat.

Trunoyudo menjelaskan penangkapan dilakukan dalam rangka penyidikan yang saat ini sedang dilakukan penyidik Dittipidsiber Bareskrim Polri.

"Jadi, secara simultan, baru pagi ini dilakukan serangkaian tindakan penyidikan melalui upaya penangkapan," ujar Trunoyudo.
​​​​​​​
Sebelum ditangkap, Palti Hutabarat mengunggah di akun media sosial miliknya terkait konten berisi rekaman suara percakapan terduga pejabat di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, yang mendukung salah satu pasangan calon peserta Pilpres 2024.

Baca juga: Menpan RB minta KASN tindaklanjuti laporan pelanggaran netralitas ASN
​​​​​​​

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2024