Jakarta (ANTARA News) - "O jornalista e um poeta delicado: sempre achar o rascunho mais sincero do que o publicado." - Mario Quintana

Mario de Miranda Quintana (1906-1994), penyair Protugis kelahiran Alegrete, boleh jadi kecewa dan akan menghapus ucapannya itu, bila kini ia masih hidup dan tinggal di Indonesia. Atau sebaliknya, dia akan keukeuh dengan pernyataannya itu.

Wartawan adalah penyair "halus budi" yang selalu menemukan rancangan paling tulus daripada berita yang dipublikasikan.

Pada masanya, tak sedikit wartawan Indonesia datang dari kalangan penyair, juga dari kalangan priyayi, dan kaum pergerakan. Belakangan hari sumberdaya wartawan Indonesia datang dari kalangan intelektual dan akademisi.

Itu sebabnya, pada era revolusi kala pers perjuangan menjadi nafas pers Indonesia, produk jurnalistik tampil dengan bahasa yang halus laksana ungkapan hati bahasa penyair dan sastrawan pada umumnya.

Penuh dengan metafora. Apalagi ketika rezim represif berlangsung dan pembreidelan pers menjadi ancaman begitu mengerikan.

Pada masa itu, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi diperjuangan begitu rupa. Pers pun belum tumbuh sebagai industri.

Paling tidak belum sepenuhnya berfikir tentang sisik melik industri. Sejak awal Abad XXI, ketika era industri menyeret dunia pers atau pers tumbuh sebagai industri, persoalan berbeda.

Paradigma pers berubah, tak lagi sepenuhnya bergantung kepada kata-kata, karena setiap kata yang dipublikasikan diukur berdasarkan kalkulasi angka - angka. Para pemilik modal memancang target, sehingga setiap kata-kata dalam berita, mesti menjelma menjadi angka-angka.

Semua tolok ukur kinerja pers berhadapan dengan angka-angka, yang terkait langsung dengan dinamika bisnis. Wartawan tak lagi diperlakukan sebagai profesional pejuang untuk menegakkan prinsip - prinsip kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat.

Pada banyak media, bahkan wartawan diposisikan sebagai "sallary man", yang harus tunduk, patuh dan menyerah pada kebijakan bisnis perusahaan.

Transformasi bisnis dan industrialisasi pers yang sangat kuat dipengaruhi oleh ukuran angka-angka rugi laba dalam neraca keuangan perusahaan, bergerak sedemikian cepat. Terutama karena pergerakan teknologi informasi dan industri informasi juga bergerak begitu cepat. Kondisi ini memengaruhi struktur industri pers.

Ashadi Siregar, pakar pers nasional dari Universitas Gadjah Mada - Yogyakarta, mempertanyakan: Masihkah relevan berbicara tentang pers perjuangan sekarang ini? (Ashadi, 1994).

Ia menyatakan: Jurnalisme dapat "ditelan" oleh manajemen dan permodalan jika para wartawan tidak menempatkan secara proporsional komponen keredaksian sebagai sub-sistem dalam keseluruhan sistem. Prediksi Ashadi Siregar menjadi kenyataan, empat tahun kemudian, ketika Presiden Soeharto tumbang oleh gerakan reformasi, yang sekaligus memberikan peluang diperolehnya kemerdekaan pers.

Tapi bersamaan dengan itu juga dominasi pemilik modal (terutama dari kalangan non pers) dengan beragam cara menguasai industri pers.

Dari semula hanya untuk "menghapus jejak bisnis" mereka yang terkait dengan rezim Soeharto, menjadi pengendalian simultan kebebasan pers yang bergerak bersamaan dengan gelora euforia politik.

Terkesan ada kesengajaan, bobot muatan politik diberikan porsi lebih besar daripada muatan ekonomi, sosial, dan budaya. Ruang-ruang budaya dan sastra yang menjadi katarsis di tengah dinamika kehidupan rezim represif secara sadar dihilangkan begitu saja, lantaran tak memberi dampak komersial bagi pendapatan perusahaan.

Hanya beberapa surat kabar saja yang masih memberikan porsi terhadap materi seni, sastra, dan budaya melalui rubrik yang terbatas.



Restrukturisasi Bisnis

Masyarakat konsumen pers dipaksa mengikuti arus kebebasan yang lebih cenderung hanya mengeksplorasi dunia politik yang kerontang dan kehilangan daya estetika dan etika.

Inovasi jurnalistik mengulang lagi formula pers masa lalu dengan mengadopsi format penerbitan pers a la Lord Northcliffe (Inggris), Henrik Cavling (Denmark) dan Holdert (Belanda).

Format penerbitan semacam ini mendorong masyarakat hidup dalam ambivalensia sosial kehidupan modern. Model penerbitan pers semacam ini di Perancis disebut "Le gout de l`informasi rapide, Seche, nette, est anglo-americain. Il Plait au gout francais mais ne le contente pas completement ..." Jurnalisme yang disajikan dengan cepat, kering, polos, a la Anglo-American, yang dikemas dengan "rasa Perancis", tetapi tidak menjanjikan kebahagiaan hidup bagi pembacanya.

Bahkan, ketika pers juga menyajikan jurnalisme infotainer yang semestinya menjadi penyegar kehidupan sosial.

Wartawan di paruh awal abad XXI memang bukan penyair. Reportase yang mereka olah menjadi berita dan beragam tulisan, baru sekadar memanifestasikan prinsip kebebasan untuk kebebasan untuk dan atas nama konsolidasi demokrasi.

Bukan kebebasan demokratis yang menyajikan keberbagaian dan multikulturalisme sebagai jalan untuk mewujudkan harmoni masyarakat - bangsa.

Di tengah arus kebebasan dan demokrasi semacam itu, pers Indonesia masih cenderung mengadopsi dan mengadaptasi jurnalisme Anglo - Amerika sejalan dengan pergerakan global yang juga merupakan "amerikanisasi" jurnalisme yang nyaris mengabaikan humanitas (kecuali ketika mereka mengalami peristiwa-peristiwa dehumanitas), sekaligus acuh terhadap dimensi kedalaman bahasa komunikasi pers yang memadukan ekspresi kecerdasan dengan kearifan.

Munculnya gaya pemberitaan Anglo-Amerikan merupakan konsekuensi logis dari kuatnya proses industrialisasi yang dengan sangat kuat mendorong tumbuh berkembangnya pers komersial berorientasi pasar yang kompetitif, seperti yang dikaji mendalam oleh Svennik Hover dan Kevin William.

Kondisi ini mencerminkan industri pers kita belum sungguh menjadi industri kecerdasan, berpijak tanggung jawab, tanpa hambatan finansial dan regulasi pemilik modal yang hanya berhitung rugi laba.

Dalam situasi dan kondisi jurnalisme Anglo-Amerikan, itulah pemilik modal yang untuk kepentingan politik dan ekonomi tertentu, masuk ke dalam industri media. Bahkan mengubah kebijakan redaksional berdasarkan selera politik dan kepentingan ekonominya.

Melalui "robot-robot" profesional, mereka merampas integritas dan independensi redaksi.

Lalu, menjadikan kebijakan dan sistem redaksi (termasuk newsroom) sebagai sub sistem kepentingan politik - ekonomi yang mereka kehendaki. Antara lain melalui berbagai "teror" yang mengontaminasi ketenangan bekerja wartawan, dengan lebel rasionalisasi dan restrukturisasi bisnis.

Dalam situasi demikian, bagi jurnalis profesional, tak ada jalan lain kecuali mengambil sikap mufarraqah. Keluar dari jamaah pimpinan imam yang tidak kompeten dan tidak kapabel!.

Oleh N Syamsuddin Ch. Haesy*
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013