Komparasi antara Pancasila dengan kitab suci merupakan salah satu bentuk penanaman keraguan terhadap masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Muh. Irfan Idris mengatakan pentingnya pengerahan kontra narasi terhadap ancaman intoleransi yang sarat kepentingan politik.

Karena menurut dia, polarisasi masyarakat menjadi tantangan terbesar Pemilu 2024, bukan hanya pada persaingan calon atau partai politik.

"Seperti halnya berhadapan dengan ombak yang menerjang, kita bisa rasakan semakin bertambahnya urgensi mempublikasikan narasi inklusif dan moderat karena gelombang pemilu sudah di depan mata," kata Irfan dalam keterangannya diterima di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan, narasi-narasi ekslusif dan provokatif dapat menjadi pemicu perpecahan di tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia.

Narasi-narasi yang inklusif dengan melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa mempersoalkan latar belakang atau golongan tertentu diperlukan mengingat era globalisasi dan informasi saat ini tidak ada lagi batasan ruang dan waktu, terutama di dunia maya.

Menurut dia, pentingnya sebaran narasi positif menjadi semakin nyata di tahun politik. Dampak dari kontra narasi yang selama ini secara organik datang dari berbagai tokoh, terbukti dapat menciptakan narasi yang mencerahkan masyarakat dan sesuai dengan ideologi Pancasila.

"Meskipun begitu, saya menyadari bahwa masih ada kelompok yang berusaha mengganti ideologi negara dengan konsep Khilafah. Yang jarang kelompok radikal pahami, sesungguhnya Indonesia telah menerapkan syariat Islam, meskipun tidak memformalkan-nya," ucap Irfan menegaskan.

Poin krusial dalam upaya menjaga kerukunan, kata dia, adalah selalu memberikan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal.

Guru Besar UIN Alauddin Makassar itu mengingatkan bahwa narasi intoleran tersebut seringkali menanamkan keraguan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Ia menekankan, bahwa perbandingan antara Pancasila dan kitab suci adalah komparasi tidak tepat, mengingat Indonesia mengakui enam agama yang memiliki kitab suci masing-masing. Menurutnya, hal ini bukanlah suatu perbandingan yang relevan.

"Komparasi antara Pancasila dengan kitab suci merupakan salah satu bentuk penanaman keraguan terhadap masyarakat," ujarnya.

Kitab suci, lanjut dia, bukan perbandingan sesuai terhadap Pancasila, begitupun sebaliknya. Jika ingin membandingkan Pancasila, yang merupakan buah pikiran dari manusia, maka bandingkanlah Pancasila dengan ideologi negara lainnya yang juga lahir sebagai produk manusia.

Dalam konteks kontra-radikalisasi, Irfan menekankan peran Undang-Undang No. 5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, khususnya Pasal 43, yang membahas tentang kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi.

"Kontra-narasi menjadi strategi penting dalam penerapan kontra-radikalisasi, dengan fokus pada pencerahan masyarakat, pemerataan narasi inklusif, dan penguatan kembali narasi damai," paparnya.

Mengenai pandangannya terhadap polarisasi dalam kontestasi politik Pemilu 2024, Irfan menyebut agar tetap waspada ketika menggunakan media sosial. Saat ini, media sosial seperti menjadi rumah bagi penggunanya. Maka dari itu, pengguna dari media sosial harus bijak dalam menentukan muatan apa yang bisa berlabuh di halaman profilnya.

"Kita semua patut waspada bahwa kelompok radikal dan ekstrem selalu berusaha menciptakan polarisasi dalam masyarakat," katanya mengingatkan.

Baca juga: Kepala BNPT: Kerja sama pemerintah dan masyarakat cegah teror

Baca juga: Kepala BNPT: Jangan abai dan lengah jaga negeri


Lebih lanjut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu menyampaikan, kekuatan Indonesia terletak pada terpelihara-nya perbedaan, dan perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan atau dianggap sebagai permusuhan.

Menurut dia, mencegah narasi perpecahan dan polarisasi menjadi tugas bersama. Untuk itu, pentingnya meluruskan informasi, menjelaskan kelebihan setiap calon presiden, dibandingkan hanya sekadar mencari keburukan dari calon yang berseberangan.

Hal ini ditujukan agar tiap pendukung calon presiden manapun tidak mudah terprovokasi. Ulama dan umara (pemerintah) jelas memiliki peranan penting pada kontestasi pemilu sehingga perlu dijaga netralitas-nya.

Kedua pihak, kata dia, seyogyanya menjadi teladan dalam memberikan dukungan dan memberikan penilaian yang adil terhadap semua calon.

Irfan menjelaskan bahwa BNPT melalui Direktorat Pencegahan telah melaksanakan berbagai program untuk menciptakan masyarakat yang damai. Dengan membangun komunikasi dan kontra-propaganda yang masif pada berbagai pihak, Direktorat Pencegahan berusaha menyebarluaskan narasi damai dan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam membangun persatuan.

Ia berpesan kepada generasi muda agar menjauhi narasi provokatif, dan mau berdialog dengan berbagai lapisan masyarakat.

Selain itu, di tengah upaya menjaga kerukunan, pihaknya terus melibatkan diri dalam menghasilkan narasi damai yang berperan dalam menjaga masyarakat agar tidak terpolarisasi, dan mengurangi dampak dari paham radikal intoleran.

Irfan menambahkan, dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh BNPT, termasuk kontra narasi intoleransi, diharapkan masyarakat Indonesia dapat menghadapi kontestasi politik dengan bijak, menjaga kerukunan, dan merajut persatuan di tengah perbedaan.

"Pemilu Damai 2024 bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan lembaga terkait, tetapi juga seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun bangsa yang kuat dan damai," tutur Irfan.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024