Jakarta (ANTARA) - Direktur Program Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan riset dan inovasi dalam menghasilkan bibit pertanian yang unggul.

“Indonesia kurang petugas penyuluh pertanian dan kurang pupuk, kurang sarana prasarana dan teknologi pertanian. Petani juga tidak mendapat bibit unggul. Riset dan inovasi untuk menghasilkan bibit unggul sangat kurang,” kata Esther melalui telepon di Jakarta, Senin.

Esther turut menanggapi apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menambah anggaran Rp14 triliun untuk penyediaan pupuk bersubsidi bertujuan agar target pengadaan 7,7-7,8 juta ton pupuk bersubsidi tahun ini dapat tercapai.

Esther mengakui bahwa tantangan dalam sektor pertanian mencakup aspek pupuk yang langka, mahal, serta kurangnya bimbingan teknis bagi petani.

“Kenapa nggak dari dulu, petani sudah lama kekurangan pupuk. Harga pupuk mahal dan langka. Mereka menanam juga tanpa bimbingan teknis dari penyuluh pertanian,” ucap Esther.

Menurutnya Indonesia juga membutuhkan petugas penyuluh pertanian dan pasokan pupuk yang lebih banyak. Petani seringkali menanam tanpa panduan teknis yang memadai, dan masalah tersebut mempengaruhi produktivitas mereka.

Di samping itu, kurangnya sarana prasarana dan teknologi pertanian turut menjadi faktor pembatas. Perhatian yang kurang terhadap hal tersebut menyebabkan produktivitas petani Indonesia jauh di bawah negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

“Tidak heran produktivitas petani sangat rendah jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Vietnam,” katanya.

Dia menyebut Indonesia, yang pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan menjadi eksportir gula, sekarang malah mengimpor berbagai komoditas seperti beras, gula, sayur, dan buah.

Kendati Indonesia memiliki sejarah prestasi di bidang pertanian, terutama pada masa penjajahan Belanda, sekarang terjadi perubahan dinamika.

Esther mengungkapkan keprihatinannya terhadap impor berbagai komoditas pertanian, dan menyayangkan kondisi tersebut terjadi menjelang pemilihan umum.

Ia berharap agar adanya perhatian lebih secara terstruktur dan sistematis baik pada riset, inovasi, dan dukungan teknis untuk memajukan sektor pertanian Indonesia secara berkelanjutan.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan bahwa tambahan anggaran Rp14 triliun untuk penyediaan pupuk bersubsidi bertujuan agar target pengadaan 7,7-7,8 juta ton pupuk bersubsidi tahun ini dapat tercapai.

“Pemerintah menyediakan pupuk subsidi tahun ini sebanyak 5,2 juta ton, kemudian alokasinya ditambah oleh Bapak Presiden (Joko Widodo) sebanyak 2,5 juta ton, sesuai dengan target pengadaan sebesar 7,7 sampai 7,8 juta ton,” ujar Airlangga Hartarto di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (4/2).

Penambahan alokasi tersebut dilakukan guna mengatasi kekurangan pupuk bersubsidi yang tahun ini ditargetkan akan diberikan kepada 14,3 juta petani.

Ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp14 triliun dari pagu semula sebesar Rp26 triliun untuk pengadaan 2,5 juta ton tambahan pupuk bersubsidi tersebut.

Dia pun mengatakan bahwa pihaknya akan meminta Kementerian Pertanian dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera merealisasikan bantuan ini.

Sementara itu, untuk mengurangi beban pemerintah atas adanya subsidi dan penambahan anggaran tersebut, Airlangga mengatakan bahwa pihaknya meminta PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk ikut membantu menyediakan pupuk dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.


 

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024