Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meninjau ulang Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) untuk mewujudkan instrumen yang jauh lebih baik dalam menghadapi kemungkinan wabah internasional atau pandemi mendatang.

Hal itu disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama yang ikut serta dalam pertemuan tersebut di Kantor WHO Jenewa, Swiss, pada 5 hingga 9 Februari 2024.

"Seperti saya sampaikan terdahulu, saya sedang mengikuti rapat di kantor WHO Jenewa yang me-review IHR yang dikeluarkan tahun 2005 dan mulai berlaku pada 2007," katanya melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Epidemiolog: Anak kelompok paling rentan hadapi perluasan wabah global

Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan sejumlah poin pembahasan yang dilakukan menyangkut aspek pandemi dan juga hubungan internasional tentang penanganan penyakit menular yang berpotensi menyebar antarnegara.

Ia mengatakan rapat yang berlangsung maraton mulai pukul 09.30 sampai 17.30 waktu setempat diharapkan dapat menghasilkan sejumlah instrumen yang jauh lebih baik dalam menghadapi kemungkinan wabah internasional atau pandemi mendatang.

"Target hasilnya akan disampaikan pada World Health Assembly bulan Mei 2024," katanya.

Di sisi lain, kata Tjandra, IHR 2005 yang sampai sekarang berlaku, antara lain menyebutkan bahwa negara perlu membentuk, memperkuat dan memelihara kemampuannya untuk merespons secara efektif risiko kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (public health emergency of international concern/PHEIC).

"Dalam rangka ini, pada tahun 2012, WHO membentuk Public Health Emergency Operation Center (EOC) di kantor pusat WHO untuk beberapa kegiatan penting, antara lain menyampaikan standar dan praktik terbaik EOC di negara-negara anggota WHO, termasuk Indonesia tentunya," katanya.

Fasilitas itu, lanjutnya, juga menghadirkan Strategic Health Operation Centre (SHOC) yang memantau situasi kejadian kesehatan masyarakat (public health events) selama 24 jam di seluruh dunia, yang berkoordinasi dengan EOC atau SHOC di berbagai negara di dunia.

"Tentunya tujuannya adalah untuk mendeteksi, menangani dan memfasilitasi kerja sama internasional bila terjadi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat," katanya.

Baca juga: WHO akhiri status darurat kesehatan global COVID-19

Baca juga: WHO: dunia perlu kurangi asupan garam meja


Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes RI itu juga mendorong Indonesia membentuk semacam EOC di tingkat nasional, juga daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Tiga hal penting bagi Indonesia dari hadirnya EOC, kata Tjandra, adalah terbentuknya surveilans dan deteksi dini kalau ada masalah kegawatdaruratan kesehatan masyarakat di pelosok manapun di Tanah Air.

Hal lainnya dapat menjadi instrumen bagi pemerintah pusat untuk segera melakukan tindakan penanganan keadaan supaya penyakit tidak makin meluas.

"Berikutnya, mungkin ada kerja sama antardaerah untuk mendeteksi potensi dan juga segera mengatasi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024