Indonesia hanya bisa tumbuh di atas 6 persen, kalau kita mengintegrasikan penggunaan rendah karbon
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa penggunaan rendah karbon dan transisi energi yang berkelanjutan bisa berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi.
 

“Itu kunci, mau (pertumbuhan ekonomi) target 7 persen tapi kita lupa bahwa 7 persen itu hanya bisa dicapai kalau kita melakukan penggunaan karbon dan kuncinya adalah transisi energi menuju energi bersih,” kata Fabby dalam Pojok Energi bertajuk Sinyal Ujung Transisi Energi yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu..

 

Fabby turut menanggapi apa yang menjadi bagian dari visi misi tiga Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) 2024 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5 hingga 7 persen.

 

“Kan semua Paslon itu ngomong mau pertumbuhan ekonomi 7 persen, ada studi Bapennas di tahun 2019 yang menunjukkan Indonesia hanya bisa tumbuh di atas 6 persen, kalau kita mengintegrasikan penggunaan rendah karbon,” ucap Fabby,

 

Dia menerangkan rendah karbon mengacu pada pembangunan dan operasionalisasi bangunan dengan tingkat emisi karbon yang rendah atau bahkan nol. Ini dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dalam infrastruktur bangunan.


Baca juga: IESR: Pengembangan hidrogen hijau penting bagi energi berkelanjutan
Baca juga: IESR: PLTS berkontribusi untuk capai 23 persen bauran energi di 2025

 

Selain itu, upaya tersebut juga berhubungan dengan penurunan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

 

Hal ini dianggap penting karena emisi gas rumah kaca dan polusi udara dapat berkontribusi pada berbagai masalah, termasuk stunting (masalah gizi pada anak) dan kerusakan lingkungan seperti deforestasi.

 

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut, penting untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

 

“Kita harus menurunkan intensitas emisi untuk setiap pertumbuhan EBT (energi baru terbarukan); menurunkan emisi gas rumah kaca, energi fosil, polusi udara karena itu menjadi penyebab stunting; meningkatkan bauran energi terbarukan; hutan harus kita pelihara,” jelas Fabby.

 

Namun, ia menyayangkan kurangnya pemahaman yang utuh dari calon presiden dan wakil presiden terkait dengan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan.

 

“Kalau kita baca visi misi saya kira semua Paslon itu bicara soal transisi energi hanya dengan pemahaman dan usulan solusi. Tapi saya belum melihat bahwa mereka semua Paslon itu punya pemahaman yang utuh terhadap apa yang diperlukan Indonesia untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan,” ujar Fabby.


Baca juga: MKI merumuskan solusi percepat transisi energi
Baca juga: "Carbon capture storage" buka peluang investasi masa transisi energi

 

Fabby juga menekankan perlunya komitmen politik untuk mencapai target zero emission pada tahun 2060 di sektor energi dan 2050 di sektor kelistrikan. Ia juga menyoroti pentingnya akselerasi energi terbarukan hingga 40-45 persen pada tahun 2030 serta penurunan penggunaan energi fosil, terutama PLTU, sebelum tahun 2045.

 

Transisi energi bukan hanya tentang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan peluang baru untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

 

“Karena kembali periode 2024 sampai 2029 itu adalah periode kritikal untuk kita meletakkan fondasi bagi akselerasi transisi energi. Jadi, kalau ini enggak dilakukan dengan baik, transisi energi Indonesia akan kedodoran,” kata Fabby.


Baca juga: Bicara Udara ajak Gen Z-Milenial soroti komitmen isu lingkungan paslon
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud: Transisi energi jadi mesin ekonomi baru Indonesia
Baca juga: CSIS: Insentif bagi barang untuk transisi energi cegah inflasi hijau


Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024