Nanning (ANTARA) - Menjelang Tahun Baru Imlek, atmosfer perayaan begitu terasa di Zona Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Guangxi-ASEAN, terutama di area Overseas Chinese Town.

Lampion berayun pelan di depan bangunan tempat tinggal, sementara jendela-jendela dihiasi dengan karya seni potongan kertas tradisional yang indah.

Saat memasuki rumah Li Yueyao, seorang perempuan warga keturunan Tionghoa yang kembali ke China dari Indonesia, siapapun akan langsung disambut oleh alunan musik Indonesia yang dinamis.

Tawa riang bergema di seluruh ruangan di saat keluarga Li asyik membuat kue-kue khas Indonesia.

Li Yueyao duduk di meja makan, dengan terampil menekan-nekan adonan ke dalam cetakan khusus untuk membuat kue kering berbentuk bunga.

Putrinya, Cai Xuejing, dengan hati-hati menambahkan selai nanas dan stroberi buatan sendiri di atasnya. Kue-kue tersebut kemudian diletakkan dengan hati-hati di balkon, di mana Cai Zhanyi, suami Li, menunggu untuk memanggangnya.

Menjelang waktu makan siang, Li pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan dan membuka lemari pendingin yang dipenuhi beragam saus, rempah, dan bahan makanan khas Asia Tenggara.

Dia menjelaskan nama serta kegunaan dari setiap rempah sambil mengapresiasinya seolah-olah semua rempah tersebut merupakan pusaka keluarga.

Dalam budaya Tionghoa, jamuan pada malam Tahun Baru merupakan simbol reuni dan kegembiraan keluarga.

"Menu kami memadukan hidangan tradisional ASEAN seperti ayam panggang serai, sate, dan kari daging sapi dengan hidangan favorit lokal Guangxi seperti ayam potong putih, babi talas, dan bebek lemon," papar Li.

Perpaduan rasa ini memberikan sentuhan unik dalam jamuan malam Tahun Baru mereka.

Di balkon, Cai Zhanyi dengan hati-hati memantau dua oven di depannya, memastikan semua kue matang dengan sempurna hingga berwarna keemasan.

"Biasanya kami berkumpul di rumah paman saya yang lebih muda. Setiap keluarga akan membawa hidangan, berkontribusi dalam menciptakan jamuan yang beragam dan menyenangkan," katanya sambil mengenang perayaan Tahun Baru Imlek pada tahun-tahun sebelumnya.

Tahun ini, keluarganya menyiapkan kue-kue khas Indonesia dan sate, menghadirkan cita rasa Asia Tenggara yang unik ke dalam jamuan malam Tahun Baru mereka sembari memperkuat ikatan dalam keluarga mereka.
 
   Masuknya "cita rasa Asia Tenggara" dalam kehidupan mereka tidak hanya menjadi ciri khas budaya bagi para warga keturunan Tionghoa yang kembali dari luar negeri, tetapi juga membuka peluang bisnis baru. Li Yueyao dan suaminya, yang sebelumnya bekerja di bidang pariwisata lintas perbatasan antara China dan Indonesia, memutuskan pindah ke Nanning beberapa tahun yang lalu untuk memulai bisnis sendiri. Keahlian kuliner mereka, yang merupakan warisan dari orang tua mereka, telah mencuri hati banyak tetangga dan teman mereka, sehingga membuat Li terdorong untuk memulai bisnis kecil yang menjual berbagai makanan lezat. Cai Lanmei, anggota lainnya dalam keluarga itu yang berusia 80-an tahun dan juga pernah merantau ke luar negeri, bergabung dalam pertemuan keluarga itu. Dia mengenang perjalanan hidupnya, menceritakan bagaimana dirinya kembali ke China dari Indonesia bersama keluarganya saat berusia 20-an tahun. Saat itu, area di sekitar kawasan yang sekarang menjadi Overseas Chinese Town yang ramai masih berbentuk lahan kosong, dan mereka tinggal di rumah sederhana beratap genting. Dia mengagumi perbedaan yang mencolok antara situasi saat itu dengan lanskap saat ini, yang kini sudah dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit dan memiliki layanan kereta cepat.


Untuk jamuan makan siang, Li menyajikan hidangan andalannya yakni ayam panggang serai, yang merupakan makanan favorit putrinya, Cai Xuejing, seorang mahasiswa seni di Akademi Seni Rupa Guangzhou.

"Saya merindukan hidangan ini saat jauh dari rumah. Ini merupakan cita rasa khas rumah yang tidak bisa saya lupakan," kata Cai Xuejing.
 
   Cai Lanmei, anggota lainnya dalam keluarga itu yang berusia 80-an tahun dan juga pernah merantau ke luar negeri, bergabung dalam pertemuan keluarga itu. Dia mengenang perjalanan hidupnya, menceritakan bagaimana dirinya kembali ke China dari Indonesia bersama keluarganya saat berusia 20-an tahun. Saat itu, area di sekitar kawasan yang sekarang menjadi Overseas Chinese Town yang ramai masih berbentuk lahan kosong, dan mereka tinggal di rumah sederhana beratap genting. Dia mengagumi perbedaan yang mencolok antara situasi saat itu dengan lanskap saat ini, yang kini sudah dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit dan memiliki layanan kereta cepat


Ke depannya, Li yakin dapat mempromosikan kuliner Indonesia dan semakin memperkuat hubungan China-Indonesia.

Pada malam Tahun Baru ini, dia berencana untuk menyerahkan "tongkat estafet" warisan kulinernya kepada putrinya, dan membiarkannya memimpin dalam proses memasak.

Zona Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Guangxi-ASEAN, yang sebelumnya bernama Guangxi Wuming Overseas Chinese Farm, merupakan rumah bagi lebih dari 12.000 warga keturunan Tionghoa yang kembali ke China dari negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, dan Malaysia.

Banyak keluarga yang kembali dari Indonesia dan menetap di zona ini terus melestarikan warisan budaya dan gaya hidup tradisional mereka yang kaya.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2024