Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengingatkan para ibu agar berhati-hati ketika memberikan susu untuk balita, khususnya dalam penggunaan botol susu, karena apabila tidak steril dapat memicu diare.

"Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak diare. Kenapa diare? Bukan karena susunya, tetapi karena botolnya tidak steril, jadi bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul-betul disteril," ujar Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Hasto menyampaikan hal tersebut pada kegiatan sosialisasi program bangga kencana dan percepatan penurunan stunting bersama mitra BKKBN di DI Yogyakarta, pada Rabu (7/2), bersama para tim pendamping keluarga (TPK) yang berada di wilayah DI Yogyakarta.

Ia menjelaskan, program percepatan stunting harus tepat sasaran, dan untuk menilai hal tersebut, salah satunya dengan melihat kemampuan intelektual dan skill seorang anak apakah bagus atau tidak.

Baca juga: Kepala BKKBN promosikan cegah stunting lewat wayang di Jawa Tengah

Baca juga: BKKBN sosialisasi Bangga Kencana dan penurunan stunting di Sleman


"(Kemampuan intelektual) itu menunjukkan bahwa anak tidak stunting. Presiden akan datang yang nanti terpilih juga harus mengutamakan pembangunan sumber daya manusia," kata dia.

Dokter spesialis kandungan dan kebidanan ini kembali mengingatkan bahwa mencegah stunting penting dilakukan di periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), atau saat bayi berusia 0-2 tahun.

"Tuhan akan menutup ubun-ubun bayi setelah usia dua tahun. Kecil kemungkinan perkembangan otak bayi setelah usia dua tahun. Jadi, hamil itu harus terencana. Kalau hamil jangan main-main, kalau main-main jangan hamil," tegasnya.

Ia mengemukakan, ciri khas stunting adalah bertubuh pendek, tetapi anak yang pendek belum tentu stunting, di mana ada ciri yang khas yakni otak anak stunting kurang cerdas dan fisiknya sering sakit-sakitan akibat kekurangan protein hewani.

"Ketika dewasa, anak stunting akan mengalami obesitas sentral (perut membesar) yang mudah terkena penyakit darah tinggi, jantung, stroke, dan sejenisnya. Terjadinya stunting ini biasanya kekurangan asupan protein hewani," tuturnya.

Menyoroti wilayah DI Yogyakarta, Hasto mengatakan bahwa wilayah tersebut banyak dihuni orang tua, dan angka kemiskinan juga tinggi karena banyak orang tua tidak produktif.

"Kondisi itu menyebabkan banyak janda tua tidak produktif. Untuk itu, pentingnya pemberdayaan perempuan agar mereka lebih produktif untuk mengatasi jebakan pendapatan kelas menengah," paparnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) DI Yogyakarta Yunianto Dwi Suseno mengatakan, upaya percepatan penurunan stunting di wilayahnya dilakukan melalui intervensi sensitif dan spesifik.

Intervensi ini melibatkan lintas sektor dari tingkat kelurahan hingga kota, dan menyasar lima kelompok, sehingga pada tahun 2023 prevalensi stunting di DI Yogyakarta bisa lebih rendah atau menurun dari 13,8 persen pada tahun 2022.

"Dalam upaya mengatasi masalah stunting, remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, ibu usai persalinan dan bayi di bawah dua tahun atau baduta, menjadi sasaran pendampingan tim pendamping keluarga (TPK)," ucapnya.

Ia juga menyebutkan bahwa percepatan penurunan stunting di Kota Yogyakarta sudah di arah yang benar, terbukti dengan penurunan angka stunting dari 17,1 persen pada 2021 menjadi 13,8 persen di tahun 2022.*

Baca juga: BKKBN: Tim pendamping harus beri contoh keluarga yang bahagia & sehat

Baca juga: Kepala BKKBN sebut ilmu dalam agama Islam sudah ajarkan tak nikah muda

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024