Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengembangkan pembangunan sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang memegang teguh asas keberlanjutan dengan pilar Environmental, Social, dan Governance (ESG).

Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto di Jakarta, Minggu menyatakan hal itu untuk menjawab tantangan kompleksitas isu lingkungan, permasalahan sosial, dan pemanfaatan ekonomi dalam pembangunan.

Tantangan yang semula hanya sebatas permasalahan kerusakan lingkungan, lanjutnya, kemudian berkembang menjadi permasalahan sosial dalam mengakses sumber daya alam, yang dituntut pula untuk dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan.

"Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi," katanya pada Seminar Hari Pers Nasional 2024.

Seluruh kepentingan, tambahnya, harus dapat diakomodir secara harmonis untuk tujuan yang lebih besar yaitu keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang didukung tata kelola lingkungan (environmental governance) yang baik.

Dalam konteks Pembangunan LHK, menurut Agus, pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan, dimulai dengan melaksanakan intervensi melalui regulasi, pengendalian dan pengawasan, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pengembangan sistem inventarisasi dan pemantauan.

Berbagai pendekatan yang telah dikembangkan tersebut diimplementasikan dengan berpedoman pada berbagai instrumen kebijakan, baik dalam bentuk instrumen regulasi pemerintah, maupun instrumen yang berlaku dalam skala global seperti antara lain Sustainable Development Goals (SDGs), UN-CBD, Convention on Biodiversity, Protokol Nagoya, dan Paris Agreement.

Terkait hal itu dia menunjukkan sejumlah indikator kinerja pembangunan sektor kehutanan yakni penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan yang salah satunya dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi hutan terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia.

Kemudian dalam konteks pemanfaatan hutan, adanya transformasi dari single-licensed yang utamanya hanya terfokus pada pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadi skema Multi Usaha Kehutanan.

Indikator lainnya adalah pemegang hak akses pemanfaatan hutan tidak hanya bagi korporasi, namun juga masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial.

Hingga saat ini, KLHK telah mencatatkan hampir 1,3 juta Kepala Keluarga di Indonesia melalui 9.642 SK Persetujuan Perhutanan Sosial yang memperoleh akses legal untuk memanfaatkan 6,3 juta hektare kawasan hutan.

Kemudian lebih dari 75 ribu Kepala Keluarga melalui 131 SK Hutan Adat juga telah memperoleh akses kelola 250 ribu hektare kawasan hutan.

Semantara itu terkait dukungan perusahaan dalam pembangunan sektor LHK, dia menyebutkan tingkat ketaatan pelaku usaha dalam Proper dan kinerja pengelolaan lingkungan hidup secara signifikan meningkat.

Dari 82 perusahaan pada 2003 meningkat menjadi 1.914 perusahaan di 2014, dan 3.694 perusahaan pada 2023.

Selain itu, penerapan sertifikasi bagi produk hasil hutan yang diekspor, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) meningkat dari 2.724 industri pemegang sertifikat pada 2017 menjadi 5.462 industri pemegang sertifikat di 2023.

Peningkatan pelaku usaha pemegang SVLK, lanjutnya, diikuti peningkatan tren ekspor produk hasil hutan dari 10,93 juta dolar AS pada 2017 menjadi 13,17 juta dolar AS pada 2023.

Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian PPN/Bappenas Yanuar Nugroho juga menyatakan soal perlunya keterlibatan dunia usaha untuk menerapkan prinsip ESG.

"Mengintegrasikan tujuan ekonomi dan sosial tanpa mengesampingkan dampak lingkungan dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan," katanya.

Baca juga: KLHK ingatkan kegiatan ekonomi perlu perhatikan kelestarian ekologi
Baca juga: BUMI raih pendapatan 4,8 miliar dolar AS dan sejumlah penghargaan ESG

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024