PBB (ANTARA) - Sedikitnya 25 juta orang di seluruh Sudan, Sudan Selatan, dan Chad sedang berjuang dengan melonjaknya angka kelaparan dan kekurangan gizi akibat krisis di Sudan yang mengirimkan efek gelombang kejut ke kawasan sekitarnya, demikian disampaikan Stephane Dujarric, Juru Bicara (Jubir) Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, pada Senin (19/2).

Efek riak dari ketidakstabilan Sudan terlihat jelas, dengan para pengungsi yang melarikan diri ke negara-negara tetangganya, seperti Sudan Selatan dan Chad, "dalam keadaan lapar dan tidak memiliki sumber daya apa pun," ujar Dujarric dalam sebuah taklimat pers Senin siang.

Karena adanya kesenjangan pendanaan sebesar ratusan juta dolar AS, Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) mengeluarkan peringatan keras mengenai situasi yang mengerikan ini, sebut Dujarric.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa keputusan sulit WFP untuk "memprioritaskan sumber daya yang terbatas kepada para pengungsi yang baru tiba" berarti bahwa "para pengungsi yang sudah ada tidak lagi mendapatkan bantuan," sebuah langkah yang secara gamblang menggambarkan kenyataan pahit pendistribusian bantuan pada saat krisis.

Peringatan yang terus-menerus disampaikan PBB terkait situasi kemanusiaan di Sudan menggarisbawahi urgensi tersebut, dengan "18 juta orang mengalami kerawanan pangan akut di negara itu," di mana banyak dari mereka "terperangkap di daerah-daerah yang sedang berperang," tutur Dujarric.

Seiring makin mendekatnya musim paceklik, imbauan PBB sangat jelas: badan-badan membutuhkan sarana untuk "memberikan dukungan bagi keluarga-keluarga di Sudan" guna mencegah "bencana kelaparan."

​​​​Seruan untuk bertindak tersebut bukan hanya agar bantuan segera diberikan, tetapi juga sebagai pengingat soal keterkaitan antara stabilitas regional dan tanggung jawab global, tutur jubir PBB itu.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024