Rio de Janeiro (ANTARA) - Jepang dan Korea Selatan sepakat untuk terus bekerja sama mengatasi masalah yang berkaitan dengan Korea Utara, pada Rabu (21/2) malam, terlepas kedua negara tersebut memiliki masalah bilateral yang sulit mengenai tenaga kerja pada masa perang.

Kesepakatan tersebut terjadi selama pertemuan tingkat menteri luar negeri mereka di Brasil, menurut Pemerintah Jepang.

Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa dan Menteri Luar Negeri Korsel Cho Tae Yul bertemu langsung untuk pertama kalinya sejak Cho menjabat bulan lalu, di sela-sela pertemuan tingkat menteri luar negeri Kelompok 20 (G20) di Rio de Janeiro, Brazil.

Kamikawa dan Cho bertemu setelah menegaskan kembali melalui pembicaraan telepon bulan lalu bahwa kedua negara mempunyai keprihatinan serius mengenai serangkaian "tindakan provokatif" yang dilakukan Korea Utara, seperti uji peluncuran rudal balistik yang bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.

Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan kedua menteri luar negeri pada Rabu sepakat untuk bekerja sama secara erat untuk mengatasi masalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pyongyang, termasuk penculikan warga negara Jepang beberapa dekade lalu.

Hubungan Tokyo-Seoul, yang memburuk pada akhir tahun 2010-an dan awal tahun 2020-an hingga ke tingkat terburuk dalam beberapa dekade, telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol menjabat pada Mei 2022.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Yoon telah mengadakan banyak pertemuan tatap muka dalam beberapa tahun terakhir, dan Kishida sedang mempertimbangkan untuk mengunjungi Seoul bulan depan untuk pembicaraan berikutnya dengan Yoon.

Kedua menteri luar negeri itu juga sepakat dalam pembicaraan mereka pada hari bahwa kedua negara akan berkomunikasi secara erat untuk merayakan peringatan 60 tahun normalisasi hubungan bilateral tahun depan, menurut Kemenlu Jepang.

Sementara itu, Kamikawa menyuarakan penyesalannya karena Korea Selatan mengizinkan transfer uang deposit oleh tergugat perusahaan Jepang, Hitachi Zosen Corp., kepada penggugat Korea Selatan sebagai kompensasi atas masalah perburuhan selama pemerintahan kolonial Jepang di Semenanjung Korea pada tahun 1910 sampai tahun 1945.

Kamikawa mengatakan kepada Cho bahwa pembayaran tersebut, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan pada Desember, menyebabkan “kerugian yang tidak masuk akal” bagi pembuat kapal Jepang, menurut kementerian itu.

Sebelumnya pada Rabu di Tokyo, birokrat utama kementerian Masataka Okano, memanggil Duta Besar Korea Selatan Yun Duk-min untuk memprotes tindakan tersebut, dengan mengatakan bahwa perintah pengadilan tersebut "melanggar" perjanjian bilateral tahun 1965.

Tokyo mengatakan semua masalah yang timbul dari kolonisasi di Semenanjung Korea telah diselesaikan “sepenuhnya dan mencapai akhirnya” berdasarkan perjanjian tersebut.

Sejalan dengan sikap Pemerintah Jepang, Hitachi Zosen menolak untuk mematuhi keputusan yang memerintahkan perusahaan untuk membayar ganti rugi sebesar 50 juta won (Rp593 juta) kepada penggugat.

Perusahaan tersebut menyetorkan 60 juta won ke Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada tahun 2019 untuk mencegah asetnya di Korea Selatan disita dan dilikuidasi, sebagai kompensasi kepada penggugat.

Pada akhir Januari, pengadilan mengabulkan permintaan penggugat untuk menyita dana tersebut.

Pembayaran deposit adalah kasus pertama di mana dana dari perusahaan Jepang ditransfer ke penggugat setelah persidangan terkait kerja paksa di masa perang, kata pengacara penggugat dalam kasus Hitachi Zosen.

Sumber: Kyodo
Baca juga: KTT APEC, Korsel dan Jepang sepakat tingkatkan hubungan
Baca juga: Tingkatkan hubungan, PM Jepang akan kunjungi Korsel akhir Mei
Baca juga: Korsel-Jepang siap buka lembaran baru di tengah ancaman Korut

Penerjemah: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024