Tidak mudah mengajarkan bahasa lokal karena (guru) harus benar-benar fasih, termasuk menulis dan mengartikannya,
Jayapura (ANTARA) - Di Tanah Papua tercatat ada 428 bahasa lokal atau daerah yang tersebar di enam provinsi, yang sebagian di antaranya terancam punah akibat jumlah penutur atau pengguna bahasa yang terus menyusut.

Generasi muda di Tanah Papua, misalnya, saat ini lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan keluarga maupun di lingkungannya. Nilai plusnya, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan itu kian berkembang. Namun di sisi lain dibarengi dengan jumlah penutur bahasa daerah yang terus berkurang bahkan ada yang sudah punah.

Tercatat empat bahasa sudah punah, yaitu bahasa Tandia di daerah Teluk Wondama dan bahasa Air Matoa di Kaimana, Provinsi Papua Barat, serta bahasa Mapia di Kabupaten Supiori dan bahasa Mawes di Kabupaten Sarmi, Papua .

Dari empat bahasa yang sudah punah itu, yang terakhir lenyap adalah bahasa Air Matoa di Kaimana karena pada tahun 2010 ditemukan hanya seorang penutur yang usianya sudah sepuh.

"Karena tinggal seorang maka diperkirakan bahasa itu juga sudah punah," kata Widyabasa Madya Antonius Maturbongs.

Untuk menekan agar tidak makin banyak bahasa di Tanah Papua yang punah, Balai Bahasa Papua menempuh kerja sama dengan pemda dan pemkot untuk melestarikannya. Caranya, dengan menjadikan bahasa lokal sebagai mata pelajaran muatan lokal sehingga para peserta didik dituntut mau mempelajari bahasa daerah.

Upaya itu memang tidak mudah karena selain penutur di bahasa tertentu yang makin sedikit, ikhtiar itu juga butuh dukungan regulasi atau payung hukum bagi sekolah untuk melaksanakannya.

Belum lagi buku pelajaran yang menjadi acuan untuk diajarkan kepada para murid yang jumlahnya masih terbatas.

Pemda harus mencetak buku-buku yang menjadi acuan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat dibagikan kepada para pengajar yang juga harus melibatkan penutur lokal yang memang fasih dalam berbahasa dan menulis.

Balai Bahasa di Papua sudah melakukan penelitian dari tahun 2006-2019 dan mendata ada 428 bahasa, terbanyak penuturnya adalah bahasa Dani, Baliem atau Hubula di Provinsi Papua Pegunungan dan bahasa Mee di Papua Tengah yang memiliki penutur lebih dari 1.000 orang.

Memang hanya dua bahasa itulah yang memiliki penutur lebih dari 1.000 orang bahkan masih banyak generasi muda yang fasih menggunakan bahasa lokal atau bahasa ibu, jelas Anton Maturbongs.

Melalui program "Merdeka Belajar" sejak tahun 2022 juga dilakukan revitalisasi bahasa daerah, yakni pelajaran muatan lokal diisi dengan pemberian pelajaran bahasa daerah sehingga para peserta didik mengenal bahasa daerah di mana dia tinggal atau bermukim.

Beberapa daerah yang telah bekerja sama dengan Balai Bahasa di Papua memasukkan mata pelajaran bahasa lokal, seperti yang dilakukan Pemda Jayawijaya melalui Dinas Pendidikan, yang menerapkan pembelajaran bahasa Dani di sekolah dasar.

Ada 38 sekolah dasar di Kabupaten Jayawijaya telah memasukkan pelajaran Bahasa Dani kepada para peserta didik sehingga mereka dapat mengenal dan mempelajari bahasa yang digunakan masyarakat di Provinsi Papua Pegunungan, kata Anton Maturbungs.



Butuh payung hukum

Kepala Sekolah Dasar Negeri Kotaraja Dorce Elsye Mano siap mengalokasikan waktu untuk pelajaran bahasa lokal, namun saat ini masih menunggu payung hukum atau petunjuk dari Dinas Pendidikan Kota Jayapura.

Secara prinsip SDN Kotaraja siap, namun untuk pelaksanaannya masih perlu diatur lebih rinci, misalnya, apakah pengajarnya itu dari guru yang ada atau dari luar, mengingat jumlah penutur berbahasa Tobati terbatas.

"Tidak mudah mengajarkan bahasa lokal karena (guru) harus benar-benar fasih, termasuk menulis dan mengartikannya," kata Elsye Mano yang mengaku berasal dari Tobati namun tidak fasih berbahasa.

Bila program tersebut dilaksanakan di sekolah-sekolah, diyakini jumlah penutur bertambah sehingga tidak perlu ada kekhawatiran bahasa lokal akan punah.

"Saya selaku pendidik berharap bahasa-bahasa yang ada di wilayah Kota Jayapura, selain Tobati, yakni Engros, Kayu Pulau, Nafri, serta Skouw, salah satunya diajarkan kepada para pelajar agar bahasa lokal tidak punah," kata Elsye Mano.



Peran keluarga, adat, dan agama 

Antropolog Universitas Cenderawasih Frederik Sokoy memaparkan bahwa untuk membangkitkan minat generasi muda di Tanah Papua menggunakan bahasa lokal, butuh kerja sama semua pihak terutama keluarga, adat, dan komunitas agama karena peran merekalah yang utama untuk merawat bahasa lokal.

Untuk melestarikan bahasa Sentani, misalnya, masyarakat adat menggandeng berbagai pihak termasuk gereja -- dalam hal ini Sinode -- agar sekali dalam sebulan pada ibadah hari Minggu, menggunakan bahasa daerah.

Dengan digunakannya bahasa daerah maka jumlah penutur terus bertambah sehingga bahasa tersebut tidak punah digerus perubahan zaman karena generasi muda makin fasih dalam berbahasa lokal.

Keluarga juga diminta berperan aktif menggunakan bahasa lokal saat berkumpul bersama, termasuk para tokoh ketika bertemu dengan warga, tidak hanya di kampung, tetapi juga di setiap pertemuan.

Briptu Daniel Bouway, anggota Polda Papua yang berasal dari kampung Seroyena, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, mengakui sudah tidak fasih menggunakan bahasa daerah karena telah keluar dari kampung sejak tahun 2009 untuk melanjutkan pendidikan ke SMP di Sentani .

Sewaktu kecil di kampung ia juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dibanding bahasa daerah sehingga tidak fasih lagi berbahasa daerah. Pengakuan Daniel Bouway itu dibenarkan rekannya, Bripda Aprilia Yoku, yang berasal dari Kampung Harapan.

Melestarikan bahasa daerah di Papua, yang terdiri enam provinsi, yakni Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya, memang menjadi tantangan besar bila melihat luas dan banyaknya bahasa lokal.

Namun, ikhtiar menyelamatkan bahasa lokal yang sekarang ini dirintis oleh pemerintah daerah bersama Balai Bahasa setidaknya bisa menyelamatkan sebagian bahasa lokal yang tersisa.





 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024