Manokwari (ANTARA) - Sekolah satu hari (SSH) menjadi terobosan dari Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat untuk mengatasi permasalahan anak putus sekolah atau tidak sekolah di tanah Papua.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unipa, Hengki Mofu di Manokwari, Jumat, mengatakan SSH merupakan model sekolah hasil penelitian FKIP Unipa untuk mengatasi persoalan baca, tulis, hitung anak sekolah tingkat dasar di terutama daerah pinggiran.

"Anak-anak sekolah di daerah pinggiran atau distrik (kecamatan) yang jauh dari kota hampir tidak menikmati pendidikan yang layak. Itu disebabkan antara lain ketidakhadiran guru atau penyebaran guru yang tidak merata," katanya.

Ia mengatakan, awal terbentuknya sekolah model SSH berawal ketika Unipa dihubungi Bupati Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, Samsudin Anggiluli untuk mengatasi angka putus sekolah di Sorong Selatan yang cukup tinggi.

Setelah dilakukan penelitian untuk melihat persoalan tersebut, didapati anak-anak ternyata tidak mendapat kepedulian dari keluarga maupun pihak sekolah.

Baca juga: Presiden Jokowi: KIP hadir agar tak ada anak putus sekolah

Pihak keluarga kadang acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak sekolah, bahkan sering anak diajak melaut atau ke kebun di jam sekolah. Sedangkan di sekolah, kehadiran guru-guru yang mengajar sangat minim, bahkan ada sekolah yang tidak ada gurunya sama sekali.

"Dari persoalan tersebut kami coba membuat SSH. Kita buat proyek percontohan SHH di SD Inpres 11 Konda, Distrik (kecamatan) Konda, Sorong Selatan. Kita kerahkan alumni Unipa untuk mengabdi jadi guru pendamping di sana selama tiga bulan dari November," katanya.

Ia menuturkan, dari proyek percontohan tersebut hasilnya cukup baik. Anak-anak kembali aktif ke sekolah dan kemampuan baca, tulis, hitung mengalami peningkatan. SSH di SD Inpres 11 Konda tersebut sudah selesai di Januari 2024 dan sedang dilakukan rangkaian evaluasi.

"Dari proyek percontohan tersebut Bupati Sorong Selatan sudah berkomitmen akan melanjutkan di beberapa distrik lagi," katanya.

Ia menjelaskan, konsep SSH adalah anak mendapat pendidikan dari pagi sebelum jam sekolah hingga sore hari. Di sekolah tersebut semua kebutuhan anak disiapkan, mulai dari mandi, sarapan, makan siang, hingga snack sore. Kebutuhan seragam juga disiapkan di sekolah.

Selain itu, buku modul yang diberikan pada anak dibuat kontekstual sesuai dengan lingkungan terdekat. Misalnya, nama-nama tempat maupun nama tokoh di buku modul dirubah menjadi nama-nama yang familiar.

Pihak Unipa juga menyediakan guru pendamping, yang mendampingi seluruh siswa mulai awal di sekolah untuk mandi, ganti pakaian, hingga di sore hari sampai pulang sekolah.

"Kita melibatkan peran orang tua secara aktif. Orang tua dikumpulkan untuk bagi tugas, ada yang bagian siapkan makanan, cuci pakaian, strika pakaian, dan memberikan keamanan di sekolah. Sedangkan guru pendamping bertugas mendampingi guru ASN. Mereka masuk lebih pagi mendampingi anak-anak untuk beribadah, makan, mandi. Kalau guru ASN tidak ada, tugas digantikan guru pendamping," katanya.

Ia mengatakan, sasaran SSH adalah tiap anak mempunyai 3K yaitu ketuhanan, kompetensi dan karakter. Setiap anak dididik punya ilmu agama yang baik, punya kompetensi ilmu formal, dan memiliki karakter yang baik.

Ia menambahkan, keberhasilan SSH di Kabupaten Sorong Selatan juga diminati beberapa kabupaten lainnya, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya dan Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Saat ini Unipa sedang menerapkan SSH di dua sekolah di Kampung Suswa dan Ayawasi di Kabupaten Maybrat.

Baca juga: Sulbar segera tuntaskan 48.100 anak tidak sekolah
 

Pewarta: Ali Nur Ichsan
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024