Jakarta (ANTARA News) - Ketua Kadin Komite Hubungan Ekonomi Bilateral dan Multilateral Internasional, Steve Sondakh, menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah melakukan praktik dumping seperti yang dituduhkan negara lain. "Dumping terjadi ketika biaya produksi lebih besar dari biaya penjualan yang menyebabkan kerugian. Produksi Indonesia kan tidak bisa seperti itu," katanya di Jakarta, Kamis. Menurutnya, yang terjadi di Indonesia, produk berharga murah karena ongkos produksinya rendah, berbeda dengan yang dilakukan negara lain yang menjual dengan harga murah meski ongkos produksinya sudah mahal dan itu yang disebut dumping. "Di China juga sebenarnya begitu. Karena ongkos yang murah, maka harga barangnya pun murah. Tapi China terus ditekan dan dituduh melakukan dumping," katanya. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) menyebutkan bahwa pihaknya telah menyelesaikan 75 kasus dumping dari sekitar 140 kasus tuduhan perdagangan tidak sehat (unfair trade) kepada Indonesia selama 1996 hingga 2005. Dari 140 tuduhan unfair trade itu, 116 kasus tuduhan dumping, 11 kasus subsidi, dan 13 kasus safe guard yang meliputi produk kertas, baja, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, sepeda, mainan, kaca, keramik, plywood, ikan tuna dan bawang putih. Negara yang paling banyak melayangkan tuduhan dumping kepada Indonesia adalah India 17 kasus, Australia 16 kasus, Amerika Serikat 15 kasus, Uni Eropa 12 kasus, Afrika Selatan 9 kasus, Malaysia 7 kasus, Korea Selatan 5 kasus, Argentinta, Thailand dan Turki masing-masing 4 kasus. Produk barang ekspor dari Indonesia yang dituduh dumping mencapai 33 jenis meliputi float glass, woodree paper, hot rolled coil/plate, glassware, footware, bicycle tire, portland cement, wooden doors, dan sorbitol. Menurut Steve, Indonesia tidak boleh takut dikatakan melakukan dumping, seperti yang dilakukan China. "Itu sebabnya produksi China bisa terus melaju. Mereka tidak memusingkan omongan negara lain," katanya. Sementara itu, menanggapi persaingan produk China dan Indonesia di pasar dalam negeri, ia mengatakan kunci utamanya adalah masyarakat harus cinta produk dalam negeri. "Siapa yang tak mau barang yang lebih murah dengan kualitas sama. Namun, jika konsumen Indonesia cinta produk dalam negeri, tentunya ia lebih memilih produk lokal. Itu yang terpenting," katanya. Ketua KADI Ridwan Kurnaen mengatakan, ada empat alasan mengapa eksportir dari suatu negara melakukan dumping, pertama, mematikan saingan untuk monopoli (Predatory Dumping), kedua karena pemasaran produk di dalam negeri telah jenuh, ketiga memperbesar pangsa pasar, dan terakhir memperbesar cadangan devisa. Indonesia sebenarnya telah memiliki kebijakan yang mengatur penetrasi dan pengamanan pasar dalam negeri yang berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional di antaranya, PP No. 34 Tahun 1995 tentang Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Imbalan, dan Keppres No.84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Akibat Lonjakan Impor.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006