Perkembangan bioenergi tidak selalu berjalan mulus, berbagai tantangan dihadapi oleh industri bioenergi,
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan beberapa tantangan untuk mengembangkan industri bioenergi di Indonesia, mulai dari aspek kebijakan hingga teknologi, dari ekonomi hingga infrastruktur, serta dari sisi keberlanjutan suplai hingga keberterimaan masyarakat

"Perkembangan bioenergi tidak selalu berjalan mulus, berbagai tantangan dihadapi oleh industri bioenergi," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu dalam seminar "Tantangan Industri Bioenergi" di Jakarta, Selasa.

Ia menekankan bahwa setiap aspek memainkan peran penting dalam perjalanan menuju net zero mission (NZE), begitu juga dengan pengembangan bioenergi di tanah air.

"Kita secara bersama perlu memetakan, mengidentifikasi, dan menganalisis tantangan yang dihadapi oleh industri bioenergi. Tantangan yang cukup kompleks seringkali memerlukan pendekatan yang terpadu dan solusi yang inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut," ujar Jisman.

Baca juga: Menteri ESDM ungkap ENI berminat kembangkan bioenergi di Indonesia

Ia mencontohkan dari sisi sustainability of feedstock atau jaminan ketersediaan sumber daya energi yang berkelanjutan dan tidak bersaing dengan produksi pangan, pakan ternak, bahan baku industri, dan pupuk merupakan sebuah tantangan yang signifikan.

Tantangan selanjutnya, kata dia, soal keterbatasan lahan untuk ditanami energy crop berhadapan dengan isu konservasi alam merupakan hal yang kompleks.

"Perlu diselesaikan secara hati-hati dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait, khususnya di sisi hulu," kata dia.

Berikutnya, Jisman mengatakan dari sisi ekonomi industri, bioenergi menghadapi tantangan biaya produksi yang seringkali lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar fosil dan keterbatasan insentif yang dapat diberikan oleh pemerintah.

Kemudian, ia juga mengungkapkan keterbatasan infrastruktur dan jaringan distribusi yang diperlukan untuk menghasilkan, menyimpan, dan mendistribusikan bioenergi.

"Seperti pabrik pengolahan biomassa, biogas, plant atau keterbatasan jaringan untuk menyerap listrik atau distribusi gas dari sumber bioenergi," tuturnya.

Baca juga: KESDM sebut tak ada ketentuan ekspor-impor di aturan baru PLTS atap

Selain itu, lanjut Jisman, tidak semua masyarakat menerima bioenergi dengan baik karena ada kekhawatiran dampak lingkungan seperti penggunaan lahan yang berpotensi merusak ekosistem, mempengaruhi biodiversity, dan masalah keberlanjutan.

Ia juga mengungkapkan bahwa tantangan pengembangan bioenergi tersebut tidak selalu datang dari dalam negeri, namun juga dari pasar global.

"Seperti contoh, Uni Eropa atau EU Dengan berbagai cara mencoba mendiskriminasikan produk biofuels Indonesia antara lain melalui kampanye negatif renewable energy directive (RED). Kedua, tuduhan anti-dumping pengenaan biaya masuk, tambahan atas produk bioenergi, khususnya sawit dan yang terbaru adalah penerapan EU Deforestation Regulation atau EUDR. Berbagai tantangan tersebut telah menurunkan ekspor biodiesel kita hingga 70 persen," kata Jisman.

Ia mengatakan untuk mengatasi tantangan dalam pengembangan bioenergi tersebut diperlukan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri, akademisi dan NGO.

Pada saat yang sama, juga diperlukan eksplorasi peluang dan potensi yang belum tergarap sepenuhnya dalam industri biodiesel di Indonesia dengan teknologi.

"Inovasi teknologi, pengembangan pasar, kemitraan strategi investasi yang masif dalam rangka kebijakan yang kondusif adalah beberapa bidang, di mana kita dapat melihat potensi besar untuk pertumbuhan dan perkembangan industri bioenergi di masa depan," ujar Jisman.

Selanjutnya, juga perlu dicari dan dikembangkan sumber bioenergi alternatif yang berlanjutan dan tidak bersaing dengan produksi pangan seperti limbah pertanian, sampah kota, dan tanaman khusus energi.

"Seperti pongamia, sorgum, dan tanaman lain, di mana sawit dapat menjadi benchmark sebagai komoditas yang mempunyai produktivitas tinggi dan harganya cukup terjangkau," kata Jisman.

Baca juga: Mandatori biodiesel berhasil hemat devisa 7,9 miliar dolar AS di 2023

Keterbatasan lahan, ucap Jisman, dapat diatasi dengan memanfaatkan energy crop dan juga inovasi peningkatan produktivitas melalui rekayasa genetika dan replanting.

"Para pelaku usaha dan akademisi perlu melakukan penelitian dan pengembangan affordable technology dalam produksi, konversi, dan penggunaan bioenergi," katanya.

Lalu, keterbatasan infrastruktur dapat diatasi dengan melibatkan BUMN dan swasta Untuk berinvestasi, termasuk melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

"Prinsip-prinsip keberlanjutan dalam produksi pemanfaatan bioenergi perlu segera diterapkan seperti yang saat ini dilakukan melalui penyusunan regulasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), termasuk untuk produk biodiesel Yang mencakup sisi hulu sampai hilir," ujarnya.

Sebagai energi terbarukan, bioenergi yang terdiri atas biomassa, biogas, dan bahan bakar nabati dapat menggantikan bahan bakar fosil di semua sektor terkait pembangkit listrik, bahan bakar untuk sektor industri dan komersil, transportasi, dan juga rumah tangga.

Pada 2023, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai sekitar 13,2 persen, di mana bioenergi memberikan kontribusi sekitar 7,7 persen atau sekitar 60 persen dari total bauran energi.

Salah satu peran bioenergi yang besar adalah penyediaan dan pemanfaatan biodiesel, di mana pada 2023 telah disalurkan biodiesel untuk domestik sebesar 12,3 juta kiloliter (KL) yang dapat menghemat devisa negara sekitar lebih dari Rp122 triliun dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 132 juta ton CO2 equivalent.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024