Ibu jangan sedih ya, Bu Mensos mau ke sini,
Jakarta (ANTARA) - Di sebuah sudut di Indonesia, gunung-gunung dan perbukitan tinggi menjulang, diliputi kabut dan awan hampir setiap saat.

Seperti kata pepatah, "tidak ada makan siang yang gratis", semua yang indah pasti harus dibayar, entah bagaimana caranya. Di sini, dingin yang menggigit dan langkah-langkah kaki di tanah terjal menjadi bayaran yang tidak seberapa untuk melihat alam yang masih asri dan udara yang belum diracuni polusi.

Deru dan debu dari mobil off-road yang menapaki jalanan licin habis ditelan dan diredam guyuran hujan. Bermodalkan waktu, kemauan, dan obat untuk menangkal mabuk darat, orang dapat menjumpai Dusun Heso di dataran tinggi di Nusa Tenggara Timur. Sebuah tenda telah didirikan persis di samping satu gubuk, guna menyambut salah seorang penting di RI di tengah sederetan orang menyambut rombongan yang ditugaskan negara ke tempat itu.

Di antara deretan orang itu, adalah Maria Evin beserta anak-anaknya. Perempuan 40-an tahun itu tak kuasa menahan tangis saat utusan dari Kementerian Sosial datang membawa kabar baik buat dia dan keluarganya. Bagai sinyal dari Tuhan, hujan tersebut langsung reda ketika ihwal baik itu dibisikkan ke dia.

"Ibu jangan sedih ya, Bu Mensos mau ke sini," ujar seorang anggota Kementerian Sosial itu sambil memeluk Maria Evin.

Setelah haru yang membuncah itu, Maria Evin beserta anak-anaknya berjalan, menunjukkan rumahnya tersebut.

Bagi orang mampu, ruangan berukuran dua kali tiga meter bisa menjadi kamar buat satu orang. Namun, kenyataannya tidak demikian untuk Maria Evin. Di situ, dia tinggal bersama tiga anaknya, yaitu Riski, Ridwan, dan Hilda. Anak perempuannya yang paling besar telah menikah dan tinggal bersama suaminya di kampung sebelah.

Rumah tersebut dibangun seadanya, dan tidak memberikan perlindungan yang baik. Bagaimana tidak, dindingnya terbuat dari kayu yang sudah dimakan usia dan ada banyak sekali celah serta lubang di genteng. Sebagian dari celah-celah di dinding itu ditutup dengan kain atau guntingan karung lusuh seadanya.

Bangunan seperti itu tidak memberikan perlindungan yang baik. Setiap hujan turun, dingin menusuk tulang, dan dia sekeluarga terpaksa mengungsi ke rumah tetangganya.

Di dalam gubuk itu hanya ada dipan reyot dengan alas biru di mana Maria Evin dan anak-anaknya tidur, dan di dekat pintu, adalah dapur. Dapur itu terdiri atas rak atas yang berisi sekumpulan kayu yang digunakan untuk memanaskan air di periuk yang digantung di bawahnya.

Saat malam, hitam menyelimuti tempat itu, karena tidak adanya listrik di tempat itu. Yang menerangi tempatnya hanyalah pelita dari minyak tanah. Ketika rumah-rumah lain di dusun itu sudah dialiri listrik, miliknya masih berkutat dengan keremangan karena dia tidak memiliki biaya untuk memperbaiki rumahnya yang sudah ditempatinya selama bertahun-tahun itu.

Tiap hari Maria Evin bekerja sebagai petani, dengan upah Rp25.000 per hari. Itu pun tidak menentu. Selain itu, dia juga mengumpulkan batu untuk dijual. Dalam sebulan, seukuran satu dump truck berisi batu-batu itu dihargai Rp350 ribu.

Karena keterbatasan ekonomi itu juga, akhirnya salah satu putranya terpaksa berhenti sekolah demi membantu mamanya di sawah.

Miris melihatnya. Namun, kini dia dapat bernapas lega setelah ceritanya mencuat di jagad maya.


Berdiri di atas tanah sendiri
Maria Evin (kedua kiri) bersama anak-anak dan cucunya di Desa Golo Wune, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, Minggu (25/2/2024). Kementerian Sosial langsung membantu Maria Evin setelah kisahnya mencuat di media massa. ANTARA/Mecca Yumna

Cerita tentang perjuangan Maria Evin sampai ke telinga Menteri Sosial Tri Rismaharini. Segera, setelah mendapati kabar itu, melalui Sentra Efata di Kupang, bantuan sosial pun dikirimkan untuk ibu empat anak itu. Berbagai intervensi, seperti pemberian sembako dan alat kebersihan diri, pembuatan kartu identitas dan kartu keluarga baru, serta fasilitasi kepemilikan tanah pun diberikan.

Intervensi terakhir adalah karena tanah tempat Maria Evin tinggal adalah milik keluarga besar suaminya. Oleh karena itu, perlu ada kepastian bagi keluarganya, agar rumah yang akan dibangun Kemensos tidak menjadi perkara berkepanjangan.

Maria Evin memang memiliki suami, tetapi pria itu ternyata sudah memiliki istri baru di Kalimantan. Dia pergi sejak tahun 2015 untuk mengadu nasib di pulau lain. Pada 2017, Maria dan anak-anaknya turut ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan, dan menetap, hingga keluarga itu akhirnya memiliki empat anak.

Sayangnya, selama berada di sana, Maria dan anak-anak diabaikan oleh pria itu. Akhirnya mereka pun kembali ke kampung halamannya pada 2021. Bahkan ketika mereka kembali ke NTT, tidak ada uang sepeser pun yang dikirim untuk menafkahi mereka.

Sebenarnya, Maria Evin punya bakat menenun, tetapi dia tidak memiliki modal dan waktu untuk menekuninya. Oleh karena itu, Kementerian Sosial mempertimbangkan untuk sejumlah tindak lanjut selain Rumah Sejahtera Terpadu, seperti pemberian modal untuk usaha menenun, serta ternak babi untuk anak Maria Evin yang putus sekolah.

Dalam kunjungannya ke Nusa Tenggara Timur pada Minggu (25/2/2024), di hadapan warga Desa Golo Wune, Risma menyala-nyala mengatakan bahwa kisah Maria Evin harus menjadi pelajaran bagi semua warga, terutama laki-laki, untuk tidak pergi meninggalkan kampungnya.

Dan bagi perempuan agar ikut berkontribusi dalam pembangunan desa melalui program padat karya. Kenapa? Karena dia yakin perempuan kuat. Kalau tidak, tidak mungkin bisa hamil, membawa beban 3 kilogram ke mana saja.

Desa yang ada di Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, itu memiliki modal berupa kekayaan alam yang luar biasa. Kiri-kanannya diapit oleh sawah yang berlapis-lapis, serta hamparan hutan yang masih rapat. Dengan sedikit upaya dan kemauan lebih, mereka dapat hidup makmur, dan tidak ada lagi "Maria Evin-Maria Evin" lainnya.


Membangun Indonesia timur

Masih di NTT juga, namun dipisahkan oleh lautan, usaha untuk mandiri mengolah sumber daya alam juga dilakukan. Di Sentra Efata Kupang, orang-orang rentan seperti Maria Evin mendapatkan pelatihan dari Kemensos, yang akan membantu mereka ke depannya.

Meski tubuh mereka dibakar terik Matahari, dan hanya dibuat dingin oleh sebuah atau dua buah kipas per ruangan, itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar hal-hal baru. Terlihat di salah satu aula, puluhan warga bersemangat mengikuti arahan dari instruktur, membuat kue-kue menarik nan kekinian dengan bahan-bahan yang lokal ditemui di NTT, seperti daun kelor, jagung, dan hasil laut.
Sejumlah peserta/penerima manfaat mengikuti kelas pastry di Sentra Efata Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (27/2/2024). Kementerian Sosial mengadakan kelas pada 26 Februari-3 Maret 2024 guna memberdayakan warga rentan dan disabilitas di NTT, dan diharapkan para peserta dapat memproduksi makanan dan minuman untuk dijual di Bazaar Ramadhan mendatang. ANTARA/Mecca Yumna

Salah satunya adalah Yati. Perempuan tunadaksa itu baru belajar membuat kue beberapa hari, namun dia sudah punya ide untuk membuka usaha lagi, selain tenun ikat yang dari awal sudah dia miliki. Menurut dia, nugget pisang kelor gampang dibuat, dan bahan-bahannya juga mudah diperoleh sehingga dia tertarik untuk memulai usaha itu.

Atau di aula lain, ada yang belajar cara membuat makanan siap saji dengan daun kelor sebagai salah satu bahannya. Yato, seorang peserta asal Maumere, menjelaskan lewat bahasa isyarat bahwa sebelum kelas itu, dia bekerja menjadi tukang batu.

Kepala Sentra Efata Kupang Tota Oceanna mengatakan pelatihan selama 7 hari itu adalah arahan langsung dari Menteri Sosial. Pelatihan itu melibatkan 120 peserta penyandang disabilitas serta kelompok rentan dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Belu, Malaka, Sikka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, serta penerima manfaat (PM) residensial di Sentra Efata. Adapun kelas-kelas yang diberikan adalah kelas membuat kopi, pastry, serta pembuatan makanan siap saji.

Harapannya, dengan pelatihan itu, para peserta atau penerima manfaat dapat menghasilkan produk-produk yang dapat dijual di bazar Ramadhan mendatang. Secara langsung, penjualan itu akan mengajarkan mereka tentang teknik pemasaran.

Membangun negeri bukan perkara yang bisa selesai dalam sehari atau dua hari. Namun, seperti kata para leluhur, bahwa sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Langkah-langkah sederhana yang terus menerus dilakukan, suatu saat mendatangkan hamparan berkah bagi yang melaksanakan, menggunung bagai lanskap alami di NTT.





 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024