Lebih dari sekadar menggoreskan canting pada kain, pengalaman membatik di Kampung Keberagaman ini menghadirkan nilai tambah melalui penggunaan bahan baku ramah lingkungan.
Jakarta (ANTARA) - “Hendaklah (setiap warga) menjadi penyejuk di tengah-tengah perbedaan. Hendaklah menapak di koridor tengah. Maka, dengan konsep itu, hiduplah rukun, berdampingan.” Demikian Agus Supriono, Ketua RW 08 Merbabu Asih, berpesan kepada warganya yang begitu beragam.

Pesan tersebut tampaknya telah tertanam di benak para warga Kampung Keberagaman Merbabu Asih. Kerukunan antarumat beragama terpampang begitu gamblang kala tawa dan canda terurai dari bibir seorang warga yang berjilbab bersama warga lainnya yang berkebaya marun, dengan gelang tridatu melingkari pergelangan tangannya.

Di atas pangkuan masing-masing, terdapat potongan kain dengan sketsa bertemakan lingkungan. Canting yang menyerupai wadah lem pun meliuk dengan anggun mengiringi obrolan kedua insan tersebut.

Sesekali, denting genta yang berasal dari Pura Agung Jati Permana memecah keheningan saat mereka terlampau fokus membatik, sampai-sampai tak sempat mengucap sepatah kata pun.

Bangunan ibadah umat Hindu tersebut hanya berjarak sejengkal dari pendopo tempat para pembatik biasa berkumpul. Di hadapannya terdapat bangunan Wreda milik umat Nasrani, dan hanya berjarak sepelemparan batu dari sana, berdiri Masjid As-Salam dan Vihara Bodhi Sejati.

Pemandangan tersebut tak hanya menyejukkan atmosfer di tengah gerahnya udara Kota Cirebon, tetapi juga mencerahkan suasana di bawah gelungan awan kelabu nan meneduhkan.

Keindahan inilah yang berusaha dijelmakan menjadi sebuah karya berupa Batik Proklim.


Batik Proklim

Agus Supriono yang juga penggagas Batik Proklim mengatakan bahwa ide membatik ini belum genap berusia 1 tahun. Kegiatan ini baru lahir pada pertengahan 2023 sebagai bagian dari program pemberdayaan perempuan, setelah Kampung Keberagaman ini didaulat sebagai Kampung Proklim Utama pada 2014 dan Proklim Lestari pada 2018.

Program Batik Proklim Lestari Merbabu Asih ini didukung oleh Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) melalui pelatihan membatik yang digelar selama tiga bulan.

Melalui pelatihan tersebut, Agus merasa bahwa BUMN tersebut telah mengajak warga Kampung Keberagaman untuk santun, tidak hanya terhadap sesama, tetapi juga terhadap alam dan lingkungan.

Oleh karena itu, motif yang diangkat untuk Batik Proklim tidaklah keluar dari pagar-pagar kecintaan masyarakat terhadap lingkungannya.

“Jika santun dan saleh terhadap lingkungan, niscaya tidak ada radikalisme,” tutur Agus.

Tidak hanya ditunjukkan melalui sketsa yang bertemakan lingkungan, tinta yang digunakan untuk membatik juga berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan dan mudah digunakan.

Batik Proklim menggunakan bahan batik lem. Adapun lem yang digunakan terbuat dari komposisi tepung tapioka, terigu, kopi, lalu direbus dengan air. Dengan demikian, membatik ini pun menjadi lebih aman apabila dibandingkan dengan bahan batik yang harus dipanaskan.

Siti Hapsah, salah seorang pembatik, mulanya menceritakan pengalaman latihan membatiknya dengan malu-malu. Ibu rumah tangga ini mengaku, pada awal pelatihan, ia merasa kesulitan menggambar. Terkadang, sketsa manusia yang ia gambar memiliki tangan yang besar sebelah atau jari yang tidak beraturan.

Nurunisa, yang kala itu berdiri di sisi Siti, turut menimpali dan membenarkan cerita Siti. Nurunisa, yang juga pembatik, menceritakan bahwa mereka dilatih untuk menggambar di atas kertas terlebih dahulu, sebelum pindah ke kain.

Yang menjadi unik adalah ketika Sri Sulasti turut menyahut dan mengungkapkan bahwasanya, pada suatu waktu, mereka dibagi menjadi sejumlah kelompok beranggotakan empat orang.

Masing-masing anggota dalam kelompok tersebut diberi tugas membuat sketsa bertema lingkungan, yang nantinya akan disatukan untuk menjadi gambar kelompok.

“Itu gambarnya karya sendiri-sendiri, lalu disatukan. Untuk nyambung idenya, jadi bercerita (sketsanya),” kata Sulasti dengan semangat menggebu-gebu.

Usai tenggelam dalam nostalgianya, Sulasti mengatakan bahwa saat ini mereka sedang mencoba untuk berproduksi. Para pembatik ini sudah mulai menghasilkan sejumlah karya, seperti taplak meja dengan ragam ukuran hingga seragam.

Batik Proklim ini dijual dengan kisaran harga terjangkau bagi banyak orang, tergantung tingkat kesulitan dan panjang kainnya.

Mereka sudah sempat menerima pesanan dari Dinas Lingkungan Hidup setempat berupa pembuatan seragam. Akan tetapi, pembuatan seragam tersebut memakan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 2–3 bulan.


Pengembangan program

Agus mengatakan bahwa durasi pembuatan seragam yang panjang diakibatkan oleh minimnya pembatik di Kampung Keberagaman ini. Agus mengatakan saat ini hanya terdapat 17 orang yang terdiri atas 15 orang pembatik,  seorang mentor, dan seorang penanggung jawab.

Hal inilah yang mengakibatkan mereka terseok-seok dalam menyelesaikan permintaan. Bahkan, para pembatik belum bisa menerima pesanan yang datang dari berbagai instansi lantaran tak ingin memberi hasil yang kurang maksimal akibat kewalahan saat mengerjakan.

Ia berharap dapat segera menambah personel guna mengakselerasi produksi Batik Proklim ini. Agus pun tak menampik kemungkinan hadirnya sentuhan teknologi agar dapat membantu para pembatik bekerja.

Agus melambungkan harapannya agar generasi muda di wilayah tersebut dapat turut memberikan inovasi dan membantu pemasaran Batik Proklim di berbagai platform e-commerce, dengan catatan setelah Batik Proklim ini sudah mampu berproduksi dengan ideal.

Yang saat ini sedang menyibukkan Agus adalah upaya Kampung Keberagaman untuk mematenkan Batik Proklim ini. Ia mengatakan dengan lantang dan bangga bahwasanya Batik Proklim berasal dari Kampung Keberagaman.


Peningkatan ekonomi

Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ Ery Ridwan menjelaskan bahwa program membatik ramah lingkungan di Kampung Keberagaman merupakan perwujudan kepedulian PHE ONWJ terhadap lingkungan.

Penggunaan pewarna alami dalam membatik merupakan langkah nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan dan meminimalkan limbah.

Lebih dari sekadar menggoreskan canting pada kain, pengalaman membatik di Kampung Keberagaman ini menghadirkan nilai tambah melalui penggunaan bahan baku ramah lingkungan.

Selain itu, Ery juga meyakini bahwa membatik memiliki aspek peningkatan ekonomi masyarakat. Pasalnya, program ini memberdayakan ibu-ibu di Kampung Keberagaman dengan membekali mereka keterampilan membatik dan membuka peluang usaha baru.

Meskipun demikian, Ery, Agus, maupun para pembatik belum menargetkan buah perekonomian yang akan dipetik dari pengembangan Batik Proklim. Tiada yang berani sesumbar, tak pula ingin terlampau pesimistis.

Menurut mereka, Batik Proklim kini sedang fokus menumbuhkan diri agar bisa berdiri di kaki sendiri, di tengah keberagaman yang berada dalam jangkauan langkah.




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024