Tertundanya penerapan GSP selama tiga tahun ini tidak hanya berdampak terhadap eksportir Indonesia...
Jakarta (ANTARA) - Atase Perdagangan (Atdag) Washington D.C Ranitya Kusumadewi mengatakan Indonesia bersama sejumlah negara penerima manfaat Generalized System of Preferences (GSP)/Alliance of GSP Countries (AGSPC) membahas langkah bersama dalam mendorong otorisasi pembaruan GSP yang telah berakhir sejak 31 Desember 2020.

Ranitya menyebut Indonesia terus melakukan berbagai upaya dalam mendorong otorisasi GSP guna meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS.

"Tertundanya penerapan GSP selama tiga tahun ini tidak hanya berdampak terhadap eksportir Indonesia, namun juga konsumen dan pelaku usaha AS yang membutuhkan sumber alternatif dalam rantai pasoknya. Kita terus mempertegas bahwa otorisasi GSP akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak," ujar Ranitya melalui keterangan di Jakarta, Kamis.

GSP adalah program preferensi pembebasan tarif bea masuk yang diterapkan secara unilateral oleh AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.

Setelah melalui proses peninjauan ulang sejak 2018, Pemerintah AS melalui United States Trade Representative (USTR) telah memutuskan untuk memperpanjang pemberian GSP kepada Indonesia.

Namun sejak keputusan tersebut, penerapan GSP untuk Indonesia dan sejumlah negara penerima GSP tertunda menunggu persetujuan proses otorisasi GSP dari Parlemen AS.

Sebagai dampaknya selama lebih dari tiga tahun, para pelaku usaha diharuskan membayar bea masuk untuk produk-produk GSP. Meski demikian, bea masuk tersebut bersifat retroaktif atau akan dikembalikan setelah GSP diotorisasi.

Pembahasan otorisasi GSP saat ini berada di Parlemen dengan sejumlah isu yang mencuat, seperti kriteria eligibilitas negara penerima GSP, ketentuan asal barang, serta cakupan dan batasan jumlah produk.

"Dengan pemilu AS yang akan dilakukan pada akhir tahun ini, AGSPC akan menggunakan momentum ini untuk mengintensifkan upaya untuk mendorong Parlemen AS menyetujui otorisasi GSP," kata Ranitya.

Pada 2023, Indonesia merupakan negara penerima manfaat GSP terbesar dengan nilai ekspor 3,56 miliar dolar AS. Negara penerima berikutnya yaitu Thailand (3,1 miliar dolar AS), Kamboja (2,9 miliar dolar AS), Brazil (2,5 miliar dolar AS), dan Filipina (1,8 miliar dolar AS).

Berdasarkan data United States International Trade Commission (USITC), ekspor Indonesia tersebut mencapai 12 persen dari total ekspor Indonesia ke AS pada 2023.

Pembebasan bea masuk di bawah GSP diberikan kepada 3.572 pos tarif yang meliputi produk pertanian, tekstil, garmen, produk manufaktur, matras, furnitur, karet, tas, kimia, dan perhiasan.

Adapun tiga produk Indonesia ekspor tertinggi (kode HS 4 digit) yang memanfaatkan fasilitas GSP antara lain adalah travel goods (619 juta dolar AS), mesin dan elektronik (357 juta dolar AS), matras (297 juta dolar AS).

Baca juga: Jokowi temui Joe Biden singgung pentingnya fasilitas perdagangan GSP
Baca juga: Bertemu USTR, Mendag minta dukungan percepat otorisasi GSP AS

Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024