Jakarta (ANTARA) - Psikolog Samanta Elsener mengatakan kondisi burn out akibat pekerjaan dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, baik fisik maupun psikis, seperti gangguan pada nafsu makan, masalah dalam berkomunikasi, bahkan depresi berat hingga penyakit kronis.

"Kalau efek jangka panjangnya kan bisa jadi sakit jantung, sakit kanker. Jadi kalau aku percaya, apa yang tubuh kita alami itu bisa jadi gangguan psikologis kita. Apa yang mental kita alami bisa jadi keluar sebagai gangguan medis kita," ujar Samanta dalam “Tips Atasi Burnout Saat Kerja” yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin.

Menurut Samanta, burn out adalah kondisi sangat kelelahan, baik mental dan fisik. Kondisi itu, kata dia, disebabkan oleh hustle culture, yaitu budaya gila kerja yang kerap diadopsi generasi muda.

Selain budaya itu, ujarnya, relasi tidak sehat dengan lingkungan kerja juga menjadi sebuah faktor risiko.

Baca juga: Pekerja lepas perlu sadari batasan tubuh cegah stres karena pekerjaan

Baca juga: Cara cepat kembali fokus jika terganggu saat bekerja


"Jadi kalau misalnya kita bayangkan kurva lonceng, itu ada peak experience orang. Jadi kalau sedang bermotivasi tinggi, performa kerjanya tinggi, dia berarti lagi tinggi-tingginya nih, di puncak prestasi," kata dia.

Dia mengatakan, setelah performa yang tinggi tersebut, perlu diwaspadai karena setelah itu, akan masuk ke kondisi fatigue atau kelelahan yang sangat, kemudian kurva tersebut menurun, menunjukkan seseorang turun hingga kondisi burn out, atau bahkan depresi.

Adapun gejala-gejala burn out, kata dia, seperti sering merasa lelah sepanjang hari, motivasi kerja yang menurun, menjadi sering menunda pekerjaan dan meninggalkan tanggung jawab, dan terkadang menarik diri dari situasi-situasi sosial, serta gejala fisik seperti sakit kepala dan kejang otot.

Menurut Samanta, burn out berbeda dengan stres. Psikolog itu menyebut, pada stres, orang tetap dapat mempertahankan performa kerja yang baik, tapi emosinya sering berubah, atau sering disebut mood swing. Mereka, katanya, tahu apa yang ingin dilakukan, namun sadar mereka kehilangan energi.

Sementara itu, orang yang burn out sudah kehilangan harapan. Dia menjelaskan, apabila dibiarkan terus menerus, maka seseorang dapat mengalami tekanan mental berat atau mental breakdown, seperti depresi.

Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan bahwa penyebabnya berbeda-beda bagi setiap orang. Adapun sejumlah cara untuk mengatasi burn out, katanya, seperti memaksimalkan waktu istirahat, contohnya tidak bekerja pada Sabtu dan Ahad.

"Jangan cek email kantor, jangan cek WhatsApp kantor, gitu. Pokoknya udah, Sabtu Ahad dimaksimalkan buat istirahat biar kita terkoneksi sama diri kita sendiri, lakukan hobi kita, bikin kita merasa nyaman, memanjakan diri kita, melakukan self care untuk diri kita," dia menuturkan.

Dia mengatakan, self-care bukan hanya sekedar pergi ke kantor atau ke bengkel, namun memberikan apa yang diri betul-betul butuhkan. Misalnya, apabila seseorang adalah tipe yang butuh tidur, maka tidurnya harus dioptimalkan pada hari istirahat itu.

Atau, ujarnya, jika orang itu adalah orang yang sosial, maka bisa bertemu orang lain yang bukan orang kantor pada waktu istirahat tersebut, misalnya teman atau keluarga. Dengan demikian, kata dia, ada pertukaran energi positif.

Apabila tingkat burn out sudah sangat parah, maka perlu memanfaatkan waktu cuti sebaik mungkin. Dia mengatakan, bagi sebagian orang, dapat mempertimbangkan pindah kantor apabila penyebab burn out adalah lingkungan kerja yang membuat tidak betah.*

Baca juga: "Burn out"? Ini empat cara jaga kesehatan otak

Baca juga: Bisakah menerapkan gaya hidup "work-life balance" di tengah pandemi?

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024