Twitter bisa dilihat sebagai sensor sosial global"
Jakarta (ANTARA News) -  Dengan menganalisis data dari Twitter dan perdagangan saham di pasar saham, para peneliti dari Institut Niels Bohr menyimpulkan ada prilaku seragam pada kelompok masyarakat besar yang justru tidak saling mengenal.

"Gagasan besar dari penelitian ini adalah memahami bagaimana fungsi jejaring sosial. Kekuatan penggunaan media sosial populer Twitter adalah memiliki lebih dari 200 juta pengguna di seluruh dunia yang menulis pesan singkat mengenai pengalaman dan kesan spontan. Ini berarti Anda bisa secara langsung mempelajari prilaku kerumunan manusia dalam web. Twitter bisa dilihat sebagai sensor sosial global," jelas Joachim Mathiesen, profesor fisika pada Institut Niels Bohr, Universitas Kopenhagen.

Joachim Mathiesen membuat satu program yang bisa mengikuti secara konstan pengguna Twitter dan dia dapat menyaksikan ada priode dengan aktivitas relatif stabil, lalu aktivitas sangat mendadak dan meningkat intensif.  Tiba-tiba ada peristiwa yang semua orang harus meresponsnya, lalu ada ledakan dalam jumlah aktivitas online.

"Timbul prilaku kolektif antar orang yang sama sekali tidak saling mengenal, namun merasa dipersatukan oleh peristiwa-peristiwa yang berlangsung di masyarakat," papar Joachim Mathiesen.

Analisis ini juga memperhitungkan seberapa sering 100 merek internasional seperti Pepsi, IBM, Apple, Nokia, Toyota, dan lain-lain menjadi tema Twitter. Di sini, tingkatnya dikarakterisasi oleh hari-hari di mana aktivitas stabil yang tersela oleh rangkaian ledakan aktivitas tiba-tiba.

"Sesuatu terjadi yang mendorong orang untuk menulis di Twitter dan tiba-tiba aktivitas itu meledak. Ini adalah semacam prilaku kelompok yang dipicu peristiwa eksternal dan mendorong kerumunan orang bereaksi," kata Joachim Mathiesen.

Pertanyaannya, mengapa fisikawan tertarik dengan prilaku sosial?

"Sebagai ahli fisika, kami ahli dalam memahami data yang rumit dan kami bisa menciptakan sistem dalam lautan kebetulan-kebetulan ini. Sistem yang rumit dipandang dalam banyak konteks dan hanya mempelajari prilaku manusia dalam kelompok sosial yang besar," jelas dia.

Kalkulasi model tersebut diterangkan oleh karakter-karakter statistik aktivitas pengguna skala besar Twitter dan yang melandasi konteks-konteks. Serupa dengan itu, dia menganalisis fluktuasi aktivitas perdagangan saham di pasar saham.

"Secara statistik, kami melihat  prilaku kelompok berkarakter sama di bursa efek dengan yang kami lakukan di Twitter. Jadi, kedua sistem sosial ini tidaklah berbeda," simpul Joachim Mathiesen seperti dikutip sciencedaily.com.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013