Jakarta (ANTARA) - Kementerian Agama mengungkapkan perkembangan kemajuan hisab dan rukyat di Indonesia karena menggunakan berbagai teknologi dan peralatan modern agar penentuan posisi hilal bisa lebih akurat.
 
Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Ismail Fahmawati mengatakan "kaum sarungan" tidak lagi menggunakan alat-alat sederhana berupa pengamatan langsung dengan mata telanjang, bambu, atau paralon melainkan telah menggunakan teleskop.
 
"Ulama sudah turun dan 'kaum sarungan' pakai teleskop. Perkembangan hisab dan rukyat di Indonesia sangat maju sekali dan mudah-mudahan ini bisa menandingi negara-negara lain," kata dia dalam diskusi bertajuk "Kriteria Baru MABIMS Dalam Penentuan Awal Ramadan" di Gedung BJ Habibie BRIN di Jakarta, Jumat.
 
Kementerian Agama bekerja sama dengan pihak Observatorium Bosscha, BMKG, dan BRIN dalam kegiatan hisab serta rukyat di Indonesia. Bahkan, berbagai madrasah dan pesantren juga telah menggunakan teleskop untuk melihat benda-benda langit.
 
Ia mengungkapkan bahwa Kementerian Agama bersama Observatorium Bosscha sudah beberapa kali mengamati Bulan saat siang hari. Kegiatan itu bukan untuk membuat keputusan, melainkan sebagai panduan dalam menentukan awal bulan.

Baca juga: Kemenag imbau umat saling hormati soal perbedaan awal Ramadhan
 
Apabila hilal tidak terlihat saat maghrib, maka itu menandakan hilal visible, sehingga Kementerian Agama bisa merumuskan sebuah kriteria pergantian bulan.
 
"Kementerian Agama sudah membangun beberapa observatorium sebagian tempat untuk melakukan rukyat, melihat Bulan, dan bisa juga dipakai untuk pengamatan objek-objek antariksa lainnya," kata Ismail.
 
Beberapa observatorium itu terletak di Aceh, Yogyakarta, dan Pelabuhanratu. Kementerian Agama juga berencana mengembangkan observatorium baru di Merauke pada tahun ini.
 
Kegiatan pemantauan hilal awal Ramadan 1445 Hijriah atau 2024 Masehi akan digelar di 134 titik yang tersebar di seluruh Indonesia.
 
"Teknologi bersama kita dan kita tidak mungkin tanpa teknologi. Lalu hasilnya seperti apa? Yaitu untuk membangun data," ucap dia.
 
Peneliti Astronomi dan Astrofisika BRIN Thomas Djamaluddin mengatakan pengamatan hilal tidak sesederhana yang dipikirkan kebanyakan orang karena ada kontras antara cahaya hilal yang sangat tipis dengan gangguan cahaya syafaq (cahaya senja) yang masih cukup terang.
 
Fenomena kontras dua cahaya itulah, katanya, yang mengharuskan ada tinggi minimal dan jarang elongasi agar kontras antara hilal yang tipis dengan cahaya syafaq menjadi tinggi.

Dengan demikian, tim perukyat bisa memutuskan kapan waktu pergantian bulan berkat penggunaan teleskop yang mempermudah pengamatan hilal.

Baca juga: Kemenag: Sidang Isbat sebagai forum bersama pengambilan keputusan
Baca juga: Wapres minta masyarakat sikapi perbedaan 1 Ramadhan dengan legawa
Baca juga: Wapres: Ramadhan momentum perkokoh persaudaraan usai dinamika pemilu

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024