Perbedaan yang terjadi itu lebih disebabkan karena perbedaan kriteria dan perbedaan otoritas yang belum bisa disatukan, tapi Kementerian Agama dan Majelis Ulama terus mengupayakan adanya titik temu
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan posisi bulan di Indonesia masih sangat rendah hanya 0,7 derajat dan elongasi 1,7 derajat yang menyebabkan bulan belum terlihat pada tanggal 10 Maret 2024.
 
Peneliti Astronomi dan Astrofisika BRIN Thomas Djamaluddin di Jakarta Jumat mengatakan, posisi itu belum memenuhi kriteria baru yang mengacu pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
 
"Kriteria MABIMS minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat," kata Thomas.
 
Penerapan kriteria baru MABIMS berdampak terhadap perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah.
 
Selama ini kriteria hilal (bulan) awal Hijriah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Namun, berdasarkan hasil kesepakatan MABIMS pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
 
Thomas menuturkan, perubahan kriteria tersebut berpengaruh terhadap penentuan awal bulan Hijriah, terutama di Indonesia yang menggunakan metode hisab dan rukyat.
 
Menurutnya, rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah, sehingga tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.
 
"Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul -ta’abudi-. Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab," kata Thomas.
 
"Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender sampai waktu yang panjang di masa depan. Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul, maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat -kemungkinan bisa dirukyat-,” katanya.
 
Thomas mengatakan, apabila melihat garis tanggal yang bersifat global, maka wilayah yang memenuhi kriteria MABIMS hanya Benua Amerika.
 
Sedangkan, wilayah Asia Tenggara tidak memenuhi kriteria rukyatul hilal. Berdasarkan hisab baru tanggal 12 Maret 2024 sebagai 1 Ramadan.
 
Sementara bila mengacu kepada kriteria wujudul hilal, maka tanggal 10 Maret 2024 sudah memenuhi kriteria. Karena itu, organisasi masyarakat atau ormas Muhammadiyah menetapkan awal bulan puasa pada 11 Maret 2024.
 
"Nanti akan dibuktikan saat rukyat pada saat magrib tanggal 10 Maret 2024 atau 29 Syaban 1445, Hijriah," kata Thomas.
 
Dia menyampaikan lebih lanjut bahwa penerapan rukyat dan hisab bisa dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat.
 
Thomas berpendapat, terjadinya perbedaan awal bulan Hijriah, seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, bukan karena perbedaan antara metode hisab dan rukyat, tetapi akibat perbedaan kriteria hilal dan otoritas.
 
Kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat. Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama, termasuk MABIMS.
 
"Perbedaan yang terjadi itu lebih disebabkan karena perbedaan kriteria dan perbedaan otoritas yang belum bisa disatukan, tapi Kementerian Agama dan Majelis Ulama terus mengupayakan adanya titik temu," kata Thomas.
 
"Perbedaan kita hormati, tetapi upaya mencapai titik temu bisa kita teruskan," katanya.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024