Palembang (ANTARA) - Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan M Hairul Sobri meminta aparat berwenang menyetop kegiatan alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.

"Alih fungsi lahan gambut menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak buruk di berbagai sektor, seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan hingga hubungan bilateral antarnegara," katanya di Palembang, Ahad.

Dia menjelaskan, selain dampak alih fungsi lahan gambut, tata kelola kesatuan hidrologi gambut (KHG) secara serampangan menimbulkan krisis ekologi yakni kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta banjir.

Krisis ekologi tersebut selalu menghantui masyarakat terutama yang bermukim di kawasan KHG dan sekitarnya, di mana pada musim kemarau terjadi kekeringan dan karhutla serta pada musim hujan terjadi banjir.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu keseriusan pemerintah dengan tidak mengeluarkan izin yang mengancam KHG, katanya.

Menurut mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel itu,
selama ini sudah banyak yang dilakukan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan gambut yang mengintai setiap tahunnya, namun masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.

Baca juga: BNPB ajak semua pihak lanjutkan tren positif mitigasi Karhutla

Baca juga: BRGM telah restorasi 1,3 juta hektare lahan gambut di tujuh provinsi


Untuk itu, restorasi gambut di sejumlah kabupaten di Sumsel yang sudah berjalan sekitar 10 tahun perlu ditingkatkan.

"Saya berharap restorasi gambut harus terus ditingkatkan lagi, agar permasalahan yang terjadi selama ini dapat diminimalkan," ujar Sobri.

Sementara Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel BRGM Desi Efrida Lesti menyampaikan 'roadmap' pendekatan restorasi gambut di provinsi ini dilihat dari tiga periodik yakni pada 2016-2020 berlangsung secara parsial dan 'quick respond' yakni merestorasi gambut yang terjadi karhutla berbasis KHG tanpa memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.

Kemudian pada 2021-2024 konsen kerja meliputi parsial dan 'quick respond' serta sistematika terpadu.

Dalam periode itu, lembaga adhock yang konsen terhadap gambut pemodelannya restorasi sistematik dan terpadu dengan memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.

Kemudian untuk periode 2025 sudah fokus dengan implementasi penuh restorasi sistematik terpadu, artinya bagaimana kondisi KHG akan tetap terpelihara dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya.

"Memang persoalan di lapangan masih didapati masyarakat bergantung untuk keberlangsungan hidupnya di kawasan gambut lindung maupun konservasi. Jangan sampai perseteruan terjadi justru antara pemerintah dan masyarakat. Ini harus dihindari," ujar Desi Efrida.

Baca juga: BRIN sebut ada enam tumbuhan terbaik untuk restorasi gambut

Baca juga: Budi daya nanas mahkota siak lindungi lahan gambut dari api

Baca juga: BRIN sebut ada enam juta hektare lahan gambut perlu direstorasi

Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024