Melbourne (ANTARA News) - Importir ternak mengeluhkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen yang harus dibayar sejak bongkar muat dan meminta sistem resi cukai (custom bond) untuk diberlakukan kembali. Hal itu diungkapkan Ketua Komite untuk Keamanan Pangan dan Industri Primer Agrikultur, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Juan Permata Adoe, usai pertemuan bisnis dengan pengusaha Australia dalam rangkaian kunjungan kerja Menteri Perdagangan ke Australia, di Melbourne, akhir pekan ini. Menurut Juan, sebelum dijual, ternak mengalami proses penggemukan selama 2-3 bulan, tidak termasuk masa karantina impor selama 14 hari, sehingga PPN yang dibayarkan impotir tidak dapat segera digantikan dengan PPN dari penjualan. "Kalau satu kapal nilainya 1 juta dolar AS, 10 persen itu sekitar 100 ribu dolar AS sebagai PPN impor yang dibayar dimuka. Rp1 miliar ini jalan terus sebagai inventaris," ujar Juan. Juan mengusulkan kepada pemerintah untuk memberlakukan kembali sistem resi cukai (custom bond) yang memungkinkan importir dapat menggunakan pembayaran PPN untuk keperluan usaha lainnya. "Masalahnya, cash flow nomor satu. Sepuluh persen itu padahal bisa digunakan untuk hal lain," ujarnya. Selama ini, impor ternak khususnya sapi dari Australia ke Indonesia mencapai sekitar 300 ribu ekor. Pengenaan PPN pada penjualan ayam juga dinilai tidak adil dalam pelaksanaannya. Peternak ayam yang sebagian besar pengusaha kecil dan menengah dikenakan PPN ketika menjual kepada rumah potong ayam (RPA) namun karena transaksinya kecil, RPA tidak melaporkan pengenaan PPN itu. Sementara, ketika keluar dari RPA, daging ayam dijual dengan PPN kepada konsumen. Menurut Juan, pemerintah seharusnya mengatur agar tidak terjadi perbedaan perlakuan antara pengusaha besar dan kecil. (*)

Copyright © ANTARA 2006