Jakarta (ANTARA) - Suasana mendung siang itu tak menyurutkan langkah sejumlah remaja untuk menapaki salah satu gedung pencakar langit yang berada di Jakarta Selatan.

Para remaja itu memiliki keistimewaan yang tak dimiliki oleh semua orang, karena mereka mempunyai keahlian meracik kopi dengan beragam jenis atau yang akrab disebut barista.

Mereka juga termasuk para remaja istimewa, sebab merupakan penyandang disabilitas, khususnya tunarungu.

Saat itu, sekitar 40 remaja sedang mengikuti pelatihan barista yang diinisiasi oleh salah satu kedai kopi bekerja sama dengan perusahaan perbankan swasta.

Remaja penyandang disabilitas itu bercengkrama dengan sesama menggunakan bahasa isyarat, dan tidak semua orang dapat memahami apa yang mereka diskusikan, karena harus memiliki keahlian khusus.

Acara seremoni yang biasanya ramai dengan tepuk tangan para peserta. Kini hening, hanya ada isyarat yang menandakan mereka ikut bersorak-sorai.
Peserta pelatihan barista memberikan sambutan pada penutupan pelatihan menggunakan bahasa isyarat di Jakarta, Senin (26/2/2024). ANTARA/Khaerul Izan
Seorang peserta pelatihan barista atau peramukopi, Mita Fadilah (28) mengaku dengan adanya program pelatihan tersebut dapat meningkatkan keterampilan dan bisa menjadi bekal untuk mencari pekerjaan atau berwirausaha.

"Semoga dengan keterampilan yang kami pelajari bisa menjadi bekal untuk mencari pekerjaan. Dan program pelatihan ini sangat membantu kami yang tunarungu," kata Mita, saat berbincang dengan ANTARA, yang dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat.

Mita antusias dengan pelatihan tersebut, karena dia bisa mendapatkan keterampilan yang tidak semua orang memilikinya, apalagi bagi seorang tunarungu.


Kedai difabel

Mencari kerja saat ini memang berhadapan dengan persaingan yang ketat, sehingga banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Meskipun semua syarat sudah lengkap, tapi para pencari kerja harus bersaing dengan puluhan, bahkan ratusan orang lainnya yang bernasib serupa.

Persaingan untuk mendapatkan pekerjaan itu tidak memandang ijazah, karena seorang sarjana pun harus berhadapan dengan ratusan, bahkan ribuan sarjana lainnya yang juga mencari kerja.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta mendata, jumlah angkatan kerja di daerah itu berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2023 sebanyak 5,43 juta orang, naik 174 ribu orang dibanding Agustus 2022 dengan jumlah 5,26 juta orang, sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) naik sebesar 2,13 persen poin.

Data yang dikeluarkan pada Senin, 6 November 2023, itu menunjukkan bahwa penduduk Jakarta yang bekerja sebanyak 5,07 juta orang, naik 197 ribu orang dari Agustus 2022.

Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan dan terbesar adalah sektor industri pengolahan, sebanyak 61 ribu orang.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa 3,23 juta orang atau 63,77 persen orang bekerja pada kegiatan formal, naik 0,65 persen poin dibanding Agustus 2022.

BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jakarta Agustus 2023 sebesar 6,53 persen, turun sebesar 0,65 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2022.

Data tersebut belum termasuk penyandang disabilitas yang rerata tidak memiliki akses pendidikan memadai, karena mereka lebih banyak yang lulusan sekolah dasar (SD), dan paling tinggi sekolah menengah atas (SMA). Otomatis lapangan pekerjaan pun tidak sebanyak para pencari kerja manusia yang normal.
Pemilik Kedai Kafe Sunyi Mario P Hasudungan Gultom saat memberi penjelasan di Jakarta, Senin (26/2/2024). ANTARA/Khaerul Izan

Melihat kondisi dan Melihat kondisi dan kenyataan di lapangan yang sulit bagi para disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan, seorang pemuda mencoba menginisiasi dengan mendirikan Kedai Kafe Sunyi.

Kafe yang saat ini sudah ada di tiga tempat itu semua pekerjanya merupakan penyandang disabilitas, khususnya tunarungu.

Menurut pemilik Kedai Kafe Sunyi Mario P Hasudungan Gultom, mayoritas pencari kerja difabel lulusan SD atau SMP, sedangkan yang dibutuhkan minimal lulusan S1. Kenyataan itu membuat dia mencoba membuka lapangan kerja dengan mendirikan kedai kopi.
 
Kedai kopi yang didirikan tahun 2019 itu semua karyawannya merupakan penyandang disabilitas tunarungu.


Berbagi ilmu

Setelah cukup sukses membangun bisnis dengan mempekerjakan penyandang disabilitas, Mario kemudian membuka pelatihan bagi difabel untuk menjadi seorang barista.

Saat ini sudah lebih 200 penyandang disabilitas tunarungu yang mendapatkan ilmu barista atau peramukopi dan mereka telah terserap di beberapa kedai kopi serta kafe yang didirikan oleh Mario.

Terbaru, Sunyi Akademi melatih 40 penyandang disabilitas mengikuti pelatihan teori selama empat hari dan satu bulan terjun langsung praktik.

Pelatihan tersebut bertujuan menguatkan dalam sisi kemampuan praktik, agar ketika bekerja nanti atau mereka membuka usaha sendiri sudah bisa diterapkan secara langsung.

Pada kesempatan itu, pelatihan diberikan kepada 40 penyandang disabilitas, khususnya tunarungu, dan dibagi dalam empat angkatan, masing-masing angkatan diisi 10 orang.

Pelatihan bukan seputar meracik kopi semata, akan tetapi mereka juga dibekali dengan kemampuan finansial, terutama dalam mengelola keuangan.

Dengan pelatihan tersebut para penyandang disabilitas tidak sekadar pandai meracik kopi yang enak, namun juga dapat mengatur hasil uang yang didapatkan.

Dengan pelatihan tersebut, penyandang disabilitas tidak hanya mendapatkan ilmu untuk mencari pekerjaan, namun dapat pula membuka lapangan kerja dengan mendirikan kafe baru.

Mario mengakui bahwa etos kerja penyandang disabilitas lebih menonjol bila dibandingkan masyarakat pada umumnya, karena ketika mereka memiliki kesempatan tersebut, maka dilakukan secara sungguh-sungguh, dan penuh dengan semangat.


Komitmen pemerintah

Pemerintah telah berkomitmen untuk memberdayakan para penyandang disabilitas dan memberikan porsi bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyebutkan bahwa pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib mempekerjakan minimal 2 persen dari total karyawan.

Sementara itu, perusahaan swasta diwajibkan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas di perusahaannya minimal 1 persen dari kuota.

Tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan di sektor formal, pemerintah juga mengupayakan untuk para penyandang disabilitas mendapatkan peluang berwirausaha.

Kementerian Ketenagakerjaan juga memberikan pelatihan dan vokasi dalam bidang digital untuk memanfaatkan peluang kerja dan transformasi keterampilan kerja digital.

Saat ini, arah kebijakan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia dilakukan secara inklusif. Artinya, semua orang dan apa pun kondisinya berhak mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pemprov DKI Jakarta juga menerapkan apa yang telah menjadi amanat undang-undang, untuk mengakomodasi penyandang disabilitas di daerah itu yang lebih dari 44 ribu orang untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal.

Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen memberikan kemudahan akses yang dibutuhkan bagi warga penyandang ketunaan tersebut.

Pemprov DKI juga telah mengesahkan Perda Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Berdasarkan perda tersebut, ada 18 aspek pemerintahan yang membantu mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Khusus pemberdayaan disabilitas juga menjadi satu hal yang selalu diupayakan, misalnya melalui pelatihan kewirausahaan kepada para penyandang disabilitas penerima Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Dalam pelatihan yang diinisiasi oleh Dinsos DKI Jakarta, mereka juga diberikan pendampingan dan sosialisasi terkait Nomor Induk Berusaha (NIB), QRIS, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan e-Order.

Sementara itu, Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyatakan bahwa stigma negatif mengenai pekerja disabilitas berpengaruh pada meningkatnya angka diskriminasi terhadap mereka di lingkungan pekerjaan.

Stigma negatif itu tentu saja berpengaruh terhadap citra diri penyandang disabilitas sebagai bagian dari para pekerja profesional.

Dalam kaitannya dengan citra diri, KND mencatat stigma negatif membuat perusahaan dan lingkungan kerja tidak mengenal dengan baik hambatan sekaligus kemampuan pekerja disabilitas, sehingga kerap kali menempatkannya dalam posisi yang tidak setara.

Untuk itu, perusahaan harus paham ketika menerima penyandang disabilitas itu seperti apa. Mereka harus paham apa itu aksesibilitas dan akomodasi yang layak, karena kalau kedua hal ini tidak dimengerti, maka akan banyak kasus asal diterima saja, terus tidak lama kemudian mereka mengundurkan diri.

Ketika perusahaan dan lingkungan kerja tidak memahami kapasitas pekerja disabilitas dan hanya berpaku pada stigma negatif, mereka justru akan melihat pekerja disabilitas itu sebagai hambatan dan menyalahkan keterbatasan yang mereka miliki.

Untuk itu, peran pemerintah dan perusahaan dalam menerima kalangan disabilitas harus dibarengi dengan pemahaman kepada kaum disabilitas itu sendiri.

Hal itu penting dilakukan, karena ketika seseorang mendapatkan kepercayaan terutama bagi disabilitas, maka mereka akan lebih bersemangat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan aktivitas di dunia kerja.

Sudah banyak contoh penyandang disabilitas yang sukses dan mampu mengalahkan orang normal pada umumnya dalam bekerja.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024