Jakarta (ANTARA) - Proses pemungutan suara untuk Pemilu 2024 telah berakhir. Besar harapan pemimpin nasional baru akan memberi perhatian lebih terhadap pembangunan ekonomi biru, termasuk wilayah pesisir.

Sebab pada hakikatnya, pengembangan wilayah pesisir sama dengan membangun garda depan Indonesia.

Alasannya, lebih dari separuh yaitu 63,2 persen atau 327 kabupaten/kota di Indonesia berada di wilayah pesisir, dan lebih dari 90 persen nelayan di Tanah Air adalah nelayan kecil yang menangkap ikan di area pesisir.

Mengutip laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tercatat sebanyak 199 kabupaten/kota di wilayah pesisir terancam dampak perubahan iklim, dan terdapat 40 kabupaten/kota yang memiliki indeks kerentanan pesisir yang sangat tinggi.

Dengan garis pantai 108 ribu kilometer atau terpanjang kedua setelah Kanada, kawasan pesisir Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis yang penting dalam jangka panjang.

Pembangunan wilayah pesisir bisa berkontribusi pada target pertumbuhan ekonomi 6-7 persen tahun 2042 dan 15 persen PDB tahun 2045.

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020, potensi ekonomi laut Indonesia dapat mencapai 1.338 miliar dolar AS atau Rp19,6 triliun per tahun, yang mencakup industri perikanan, pariwisata bahari, pelayaran, dan perdagangan maritim.

Namun, pengelolaan kawasan pesisir tidak mudah dan untuk membangunnya dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks dan butuh keterlibatan semua pihak.

Menurut Konservasi Indonesia, ada sejumlah masalah utama yang perlu dibenahi di wilayah pesisir, yaitu mulai dari degradasi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya laut yang tidak sejalan dengan konsep berkelanjutan, tidak terselesaikannya tumpang tindih pemanfaatan wilayah pesisir oleh berbagai sektor pembangunan, erosi dan abrasi pantai, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, hingga kemiskinan ekstrem yang dialami nelayan.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, angka kemiskinan di wilayah pesisir mencapai 4,19 persen, yang melebihi rata-rata nasional (4 persen). Dari total jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 10,86 juta jiwa, sekitar 12,5 persen atau 1,3 juta jiwa berada di wilayah pesisir.


Strategi Teknis

Sejumlah masalah utama tersebut harus diatasi dengan cara membangun wilayah pesisir secara berkelanjutan. Untuk melakukannya diperlukan sejumlah strategi teknis.

Pertama, melakukan pemetaan secara nasional berbasis provinsi, kabupaten, dan kota terkait potensi dan tantangan di masing-masing wilayah pesisir.

Hal tersebut dilakukan dengan cara mengidentifikasi jenis komoditas dan jasa kelautan, serta mengestimasi skala masing-masing komoditas dan jasa tersebut di setiap wilayah.

Setiap daerah juga diarahkan untuk menentukan komoditas dan sektor unggulan masing-masing.

Misalnya, Konservasi Indonesia berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, Fakfak, Kaimana, Sumbawa, Sumba Timur, Banyuwangi dan Bintan untuk membangun ekonomi biru berbasis pendekatan proteksi-produksi.

Sektor yang dikembangkan adalah pariwisata berbasis alam dan spesies kharismatik, perikanan berkelanjutan, serta akuakultur yang positif terhadap lingkungan.

Akuakultur adalah metode yang dipakai untuk menghasilkan makanan dan produk komersial lainnya, memulihkan habitat, dan membangun kembali populasi spesies yang terancam dan hampir punah.

Metode yang digunakan diarahkan untuk mendukung keberlanjutan kawasan pesisir Indonesia.

Untuk kolaborasi tersebut, keterlibatan dilakukan saat membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2024–2045 yang berdasarkan rujukan RPJP-nasional yang sedang diselesaikan Bappenas.

Dokumen RPJMD memastikan agar terjadi keterpaduan dan harmonisasi program yang mengarah pada pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan di setiap aspeknya.

Kedua, memberi perhatian khusus untuk delapan provinsi yang berciri kepulauan, di mana luas perairannya lebih dari daratan.

Delapan provinsi tersebut yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Perhatian khusus dapat berupa penguatan organisasi pemerintah dengan cara menyediakan dana alokasi khusus untuk wilayah kepulauan serta regulasi tentang pembangunan provinsi kepulauan.

Saat ini, belum ada regulasi tentang provinsi berciri kepulauan dan dana alokasi khusus untuk daerah berciri kepulauan tersebut.

Ketiga, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di setiap wilayah pesisir dan melibatkan partisipasi aktif mereka, termasuk organisasi masyarakat sipil setempat, dalam setiap proses pembangunan dan perlindungan wilayah pesisir.

Peran serta aktif masyarakat pesisir, termasuk dan terutama nelayan, merupakan satu langkah yang sangat penting.

Bukan hanya karena mereka memiliki pengetahuan yang memadai terkait ekosistem laut, tetapi juga karena para nelayan dapat berkontribusi langsung dalam memantau dan memitigasi persoalan lingkungan setempat.

Keempat, meningkatkan kapasitas riset dan teknologi di bidang kelautan. Menurut pengalaman Konservasi Indonesia, riset dan teknologi kelautan yang perlu ditingkatkan adalah karakterisasi, identifikasi, dan kuantifikasi potensi sumber daya alam serta pengembangan sektor-sektor ekonomi biru yang inklusif dan berkelanjutan.

Pembangunan ekonomi biru terintegrasi yang berbasis proteksi-produksi di Raja Ampat, misalnya, telah melalui semua tahapan yang disebutkan.

Selain itu, kapasitas organisasi dan masyarakat lokal turut dikembangkan karena pada hakikatnya mereka adalah pelaku utama pembangunan di daerah.

Untuk dapat mencapai mimpi besar ini, banyak pihak berharap selain pimpinan nasional baru, pimpinan daerah yang terpilih nantinya juga punya kepedulian terhadap masyarakat pesisir.

Dengan fokus pembangunan wilayah pesisir sebagai garda depan dapat terbangun dengan baik, mimpi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai dengan poros pembangunan baru di banyak daerah, serta membangun masyarakat yang sejahtera dan unggul yang menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia.


*) Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Yayasan Konservasi Indonesia.

 

Copyright © ANTARA 2024