Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut sekitar 1.700 desa telah menggunakan aplikasi Pemilu Elektronik atau e-Voting dalam pemilihan kepala desa (pilkades).

"Pada pilkades sudah terselenggara di 28 kabupaten, 15 provinsi, sejak 2013," kata Ketua Inventor e-Voting sekaligus Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Sains Data dan Informasi BRIN Andrari Grahitandaru di Gedung BRIN, Jakarta, Selasa.

Andrari mengatakan bahwa mulanya e-Voting untuk pilkades pertama kali digunakan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang memiliki permasalahan surat suara tidak sah melebihi perolehan calon kepala desa yang menang.

"Nah ini menyebabkan kepala desa yang terpilih itu bukan murni pilihan masyarakat. Nah itulah dengan e-Voting, dengan tidak adanya surat suara tidak sah, maka e-Voting ini menjadi pilihan, menjadi terpilihnya kepala desa yang benar-benar menjadi pilihan masyarakat," ujarnya.

Sementara itu, ia menjelaskan teknis pemilihan dalam e-Voting dalam prosesnya hanya melibatkan dua kali sentuh.

"Pertama, sentuh calon. Kemudian yang kedua, layar kedua, itu adalah konfirmasi, iya atau tidak," katanya.

Setelah itu, lanjut dia, tercetak struk audit yang kemudian diperiksa dan dimasukkan ke kotak audit.

 Ia menyebut struk tersebut akan menjadi bukti hukum manual ketika ada sengketa.

"Demikian juga dalam hal ini hasil langsung terkirim ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara. Bawaslu sebagai pengawas mendapatkan log file-nya, itu dikirim satu log file dikirim ke Bawaslu," jelasnya.

Walaupun demikian, Andrari menjelaskan pada awalnya aplikasi e-Voting yang telah dikembangkan sejak 2010 ditargetkan untuk dilaksanakan pada pemilu, yakni Pilpres dan Pileg. Pengembangan tersebut, lanjut dia, diawali dengan pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ketika kami mau mengembangkan itu melakukan uji materi dulu ke MK bahwa apakah coblos, contreng itu sama artinya dengan sentuh panel komputer. Itu yang kami lakukan, uji materi dulu diangkat karena kalau tidak, sia-sialah kami mewujudkan pemilu elektronik di Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, MK kemudian mengeluarkan Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 yang mengatur coblos, contreng sama artinya dengan sentuh panel komputer, tetapi perlu disiapkan lima komponen.

Lima komponen itu, kata dia, adalah kesiapan teknologi, legalitas, penyelenggara, masyarakat, dan memenuhi asas luber jurdil.

"Diawali dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian saat ini pemilu Indonesia sudah bisa menggunakan e-Voting, tetapi baru di tingkat Pilkada. Untuk Pemilu Presiden dan Legislatif yang seharusnya sudah diakomodir di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 (tentang Pemilihan Umum) ini menjadi batal," katanya.

Ia menjelaskan pembatalan tersebut dikarenakan Panitia Khusus (Pansus) Pemilu setelah studi banding ke beberapa negara lain kemudian menghilangkan pasal-pasal yang mengakomodasi e-Voting dalam UU Pemilu.

"Pulang-pulang, Undang-Undang yang sudah mengakomodir e-Voting seperti halnya di pasal-pasal Undang-Undang Pilkada itu menjadi hilang semua," ujarnya.

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024