Rekomendasi teknis kepemilikan frekuensi dalam kajian kami, didasarkan pada dokumen rencana bisnis XL dalam 10 tahun ke depan,"
Jakarta (ANTARA News) - Regulator telekomunikasi akan mencermati rencana bisnis PT XL Axiata Tbk untuk 10 tahun ke depan guna membuat rekomendasi teknis yang tepat bagi kepemilikan frekuensi antara perusahaan itu dengan Axis.

"Rekomendasi teknis kepemilikan frekuensi dalam kajian kami, didasarkan pada dokumen rencana bisnis XL dalam 10 tahun ke depan," kata Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M Ridwan Effendi di Jakarta, Kamis.

Menurut Ridwan, dalam pembuatan kajian teknis terkait nasib frekuensi XL-Axis tersebut regulator tidak main-main, termasuk dengan melihat model laporan operator di Amerika Serikat ke Federal Communications Commission (FCC) dalam kasus merger, terutama tata cara penilaian kelayakan merger untuk sektor telekomunikasi.

"Kami harus menjaga aset negara. Semua harus memahami frekuensi alat untuk berusaha bukan merupakan aktiva atau aset yang bisa dianggap sebagai bagian dari valuasi satu perseroan," tegasnya.

Ridwan menjelaskan, tata cara pengalokasian, pencabutan dan lainnya tentang frekuensi yang dikelola satu operator ada dalam PP No. 53 Tahun 2000 diantaranya dinyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.

Selanjutnya, izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri. Sedangkan untuk frekuensi radio yang tidak digunakan lagi wajib dikembalikan kepada Menteri.

Sementara itu Anggota Komite BRTI lainnya Nonot Harsono mengatakan dalam melihat alokasi frekuensi yang pantas untuk XL dan Axis pascakonsolidasi adalah menghitung keseimbangan daya saing dengan modal frekuensi yang dimilikinya saat ini dan ke depan.

Karena itu diutarakan Nonot, rencana bisnis baru dari XL dan Axis menjadi sangat penting untuk dijadikan pembanding.

Setelah itu dibuat kalkulasi teknis komitmen, diikuti evaluasi efisiensi spektrum saat ini dan ke depan.

"Dengan begitu bisa diprediksi pascamerger peta persaingan di industri seluler akan seperti apa," jelasnya.

Menurut catatan, komposisi kepemilikan frekuensi XL sendiri saat ini adalah 15 MHz atau setara tiga blok (8, 9, dan 10) di spektrum 2,1 GHz untuk layanan 3G.

Untuk 2G, XL juga punya di 1.800 Mhz dan 900 MHz, masing-masing 7,5 MHz, sementara Axis menduduki dua blok 3G di 2,1 GHz, yakni blok 11 dan 12. Sementara untuk 1.800 MHz memiliki lebar pita 15 MHz.

Dalam kajian yang dilakukan XL jika frekuensi Axis dikuasai maka terjadi pengurangan biaya operasional sekitar 800 juta dolar AS dengan belanja modal pada 2014 dihemat 40-50 persen, atau ada penurunan sekitar Rp2 triliun.

Sejumlah kalangan berharap konsolidasi ini terealisasi dan menjadi pintu masuk terjadinya rebalancing di frekuensi mobile broadband yakni 900 MHz, 1.800 MHz, dan 2,1 GHz. Ketiga spektrum ini menyediakan bandwiitdh 2 x160 Mhz.

Pasalnya, dengan akan hadirnya teknologi Long Term Evolution (LTE) di 1.800 MHz, operator berbasis GSM akan membutuhkan minimal lebar pita di atas 10 MH di 1.800 MHz, disamping dibukanya implementasi teknologi netral di tiga spektrum yakni 900 MHz, 1.800 MHz, dan 2,1 Ghz.

Hal tersebut untuk menjaga agar layanan 2G dan 3G tetap berjalan guna melayani suara, SMS, dan data, sementara sekitar 10 MHz di 1.800 MHz didedikasikan untuk data berbasis LTE.

Kondisi saat ini, lima operator GSM tidak memiliki kesetaraan kepemilikan frekuensi walau masing-masing mengklaim agresif membangun jaringan.

Jika rebalancing terjadi dengan asumsi tersisa 4 operator GSM (Telkomsel, Indosat, XL, dan Tri), pemerintah bisa memberlakukan pembatasan kepemilikan frekuensi (spectrum cap) guna menjaga persaingan sehat di antara pemain. (*)

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013