Jakarta (ANTARA) - Momentum berpuasa di bulan Ramadhan menjadi kesempatan masyarakat untuk menghentikan pola konsumsi gula berlebih supaya terhindar dari risiko penyakit diabetes terhadap kesehatan mata.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K) mengatakan pengidap diabetes melitus sangat susah ditangani ketika mengalami glaukoma.

"Penderita diabetes itu yang paling susah ditangani oleh kami (dokter spesialis mata subspesialis glaukoma). Karena harus menangani diabetesnya, harus melaser retinanya, harus disuntik untuk menghilangkan pendarahannya, diteteskan obat, dan operasi pasang selang," kata Widya pada acara diskusi soal kesehatan mata bersama Rumah Sakit Spesialis Mata Jakarta Eye Center (JEC) di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis.

Baca juga: Dokter: Penglihatan pasien glukoma seperti melihat dari celah pintu

Baca juga: Dokter: Edukasi penting untuk cegah kebutaan akibat glaukoma


Ketika berbuka puasa, menurut Widya, sebaiknya air putih lebih dikonsumsi lebih banyak untuk mengurangi keinginan mengonsumsi minuman dan makanan yang manis-manis.

Ini merupakan cara disiplin tubuh mencegah glaukoma akibat penyakit diabetes.

Jenis glaukoma neovaskular, umumnya diakibatkan diabetes melitus yang tidak terkontrol.

Di negara berkembang, 90 persen kasus glaukoma tidak terdeteksi. Hal itu diperparah dengan fakta bahwa sekitar satu milyar orang di dunia belum memiliki akses terhadap kesehatan mata.
 
Dalam rangka memperingati Pekan Glaukoma Sedunia pada tanggal 10-16 Maret 2024, JEC Group
menyelenggarakan berbagai sosialisasi dengan tema "Gerakan Sadar Glaukoma: Guna Menyelamatkan Kualitas Hidup Kita."
 
Kegiatan itu ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terkait penyakit glaukoma yang tidak dapat direhabilitasi dan paya pencegahan kebutaan akibat glaukoma, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya deteksi glaukoma sedini mungkin.
 
Karena penyakit itu nyaris tanpa gejala, di mana penyebabnya adalah cairan yang terperangkap di rongga bola mata yang menekan hingga bagian belakang saraf optik, dan menimbulkan penurunan fungsi penglihatan.
 
Kondisi ini dapat dialami oleh usia berapa pun, namun seiring peningkatan faktor risiko, kondisi ini banyak dialami oleh kalangan usia di atas 40 tahun. Umumnya, tekanan darah di bola mata pasien saat diperiksa cukup tinggi, di atas 21 mmHg.
 
Diagnosa glaukoma menggunakan alat tomografi koherensi optik (OCT) yaitu teknologi pencitraan yang menggunakan interferometri koherensi rendah untuk mendapatkan gambar penampang lapangan pandang.

Ketersediaan alat tersebut sudah dilengkapi JEC.

Baca juga: Dokter: Deteksi dini penting guna perlambat progres glaukoma

Baca juga: Dokter paparkan faktor-faktor risiko yang perparah glaukoma 

Baca juga: Dokter spesialis mata bilang kebutaan akibat glaukoma bisa dicegah

 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024