Beirut (ANTARA News) - Pimpinan gerakan kuat Syiah Lebanon Hizbullah dan sekutu kunci Damaskus Hassan Nasrallah, Senin, menuduh Arab Saudi memblokir solusi politik terhadap konflik di Suriah.

Nasrallah mengatakan kerajaan Teluk itu "marah karena situasi di Suriah tidak bergerak sebagaimana yang diinginkannya", dalam pidato yang disiarkan pada layar besar di pinggiran selatan Beirut, kawasan kubu Hizbullah.

Riyadh telah menjadi pendukung kunci kelompok pemberontak yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah Presiden Suriah Bashar al - Assad sejak Maret 2011.

"Hari ini, dialog politik dan pencarian solusi politik memperoleh dukungan internasional, regional, dan dalam negeri ... tapi ada negara di wilayah itu yang marah (atas rencana konferensi perdamaian Jenewa II), dan namanya adalah Arab Saudi," tuduh Nasrallah.

Hubungan antara Washington dan Riyadh telah tegang sejak Amerika Serikat batal melakukan ancaman aksi militer terhadap Bashar atas dugaan serangan senjata kimia pada Agustus.

Hubungan antara kedua sekutu itu makin memburuk atas keterlibatan Washington baru-baru ini dengan Iran, musuh bebuyutan Arab Saudi di wilayah tersebut.

Nasrallah mengatakan bahwa kerajaan teluk kaya minyak itu telah mengirimkan pejuang asing, senjata, dan uang untuk mendukung pemberontak Suriah melawan pemerintah di Damaskus guna menjatuhkan Bashar.

"Tapi itu tidak berhasil," kata Nasrallah, yang juga telah mengaku mengirim pejuang Hizbullah untuk berperang bersama pasukan pemerintah di Suriah saat mereka berusaha untuk menghancurkan pasukan pemberontak.

"Wilayah ini tidak dapat dikoyak oleh perang hanya karena sebuah negara marah dan mencoba untuk menghalangi setiap dialog politik dan memundurkan kembali Jenewa II," katanya.

"Keteguhan mereka sia-sia," tambahnya.

Perundingan Jenewa yang dijadwalkan digelar bulan depan bertujuan untuk membawa perwakilan pemberontak dan rezim ke meja perundingan dalam upaya untuk mendorong negosiasi penyelesaian konflik Suriah, yang menurut kelompok hak asasi telah merenggut lebih dari 115 ribu jiwa sejak Maret 2011.

Baru-baru ini sejumlah kelompok pemberontak kuat menyatakan menolak untuk menghadiri rencana konferensi perdamaian itu, demikian laporan AFP.

(G003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2013