Jakarta (ANTARA) - Civitas Akademika Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) menggelar kajian fiqih lingkungan akibat adanya dampak perubahan iklim yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup manusia.

“Adanya isu perubahan iklim adalah peringatan bagi umat untuk kembali memperhatikan perilakunya terhadap (keberlangsungan) lingkungan,” kata Katib Syuriah PBNU Dr. K.H. M. Mujib Qulyubi dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa.

Mujib menuturkan perintah bagi manusia untuk menjaga lingkungan sebenarnya sudah dituangkan ke dalam Al-Quran. Hal tersebut merupakan bukti bahwa Islam sangat menaruh perhatian terhadap keadaan lingkungan.

Baca juga: BMKG sebut 2023 tahun terpanas sejak pra industrialisasi 1850

Terlebih semakin berkembangnya zaman, cuaca ekstrem hingga bencana alam yang sering terjadi erat kaitannya dengan perubahan iklim, dan menimbulkan kerugian yang begitu besar baik korban jiwa, hilangnya aset, serta menurunnya aktivitas produksi khususnya di sektor pertanian telah dirasakan.

Atas dasar itu, pembahasan mengenai lingkungan dalam fiqih terutama di Indonesia mulai muncul pada periode 1960-an. Pemicunya adalah kekhawatiran terhadap bencana-bencana alam yang timbul akibat kerusakan alam.

Kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh NU, sehingga bersama pihak-pihak terkait membuat konsep fiqih lingkungan pada tahun 1980-an. Semangat NU dalam menyusun konsep fiqih lingkungan hidup tidak terlepas dari konteks yang ada pada saat itu, di mana negara mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup –yang rusak akibat pembangunan nasional.

Baca juga: Dirjen HAM sebut fatwa MUI soal pengendalian iklim sejalan dengan HAM

“Dengan menjaga lingkungan kita dapat menjaga agama, menjaga harga diri, akal, harta serta keturunan,” kata dia. 

Water Environmental & Sanitation Specialist Cowater International Trimo Pamudji Al Djono menambahkan bahwa mitigasi perubahan iklim tidak bisa dilakukan secara individu, namun harus dengan keterlibatan banyak pihak.

“Yang paling penting adalah aksi mitigasinya harus dilakukan secara bersama-sama. Semua elemen masyarakat, pemerintah, swasta, NGO dan sebagainya. Karena aksi mitigasi ini yang paling berdampak pada perubahan lingkungan, termasuk penghijauannya,” ucap Trimo.

Ia menyoroti perubahan iklim pada masa kini makin terlihat di mana kondisi wilayah yang kering semakin kering, sedangkan wilayah yang basah semakin mudah mengalami banjir. Akibatnya, manusia yang tinggal menjadi sulit mendapatkan akses air bersih.

Baca juga: Badan Geologi: Selat Muria tak akan terbentuk dalam waktu dekat

“Oleh karena itu, yang kita perlu lakukan adalah program yang membuat mendekatkan masyarakat dengan sumber air sekaligus memitigasi perubahan iklim dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan,” ujar Trimo Pamudji.

Pembahasan mengenai dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia tersebut menjadi perhatian dalam Safari Ramadhan civitas akademika Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) bersama AQUA.

Acara berlangsung pada Senin, 25 Maret 2024 dan dihadiri oleh Katib Syuriah PBNU Dr. K.H. M. Mujib Qulyubi, M.H, Water Environmental dan Sanitation Specialist Cowater International Trimo Pamudji Al Djono serta jajaran civitas akademika UNUSIA. 


Baca juga: Laut menghangat, waspadai potensi cuaca ekstrem dan badai

Baca juga: WMO keluarkan peringatan saat indikator perubahan iklim pecahkan rekor

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024