PT PAL bisa bikin FPB 57 pada masa lalu karena waktu itu beli lisensi FPB 57, bukan offset ....
Jakarta (ANTARA) - Ahli pertahanan Alman Helvas Ali mengatakan bahwa kemampuan peperangan antikapal selam (ASW) dan antikapal permukaan (ASuW) TNI Angkatan Laut membutuhkan investasi yang cukup besar.

Oleh karena itu, Alman menilai butuh kehendak politik (political will) dari pemimpin negeri untuk mewujudkan itu karena sektor pertahanan, termasuk untuk meningkatkan kemampuan peperangan antikapal selam dan antikapal permukaan, belum menjadi prioritas belanja pemerintah setidaknya pada tahun ini.

"Indonesia membutuhkan investasi cukup besar untuk membangun kemampuan ASW dan ASuW," kata Alman saat berbicara dalam acara diskusi terkait dengan kemampuan ASW dan ASuW TNI AL di Jakarta, Selasa.

Investasi itu, kata dia, tidak hanya sebatas untuk membeli alutsista yang dapat menopang kemampuan peperangan antikapal selam dan antikapal permukaan TNI AL, tetapi juga untuk mendukung industri pertahanan dalam negeri agar mereka mampu memproduksi alutsista-alutsista tersebut.

Dalam diskusi yang sama, dia memandang perlu Pemerintah mempertimbangkan untuk membeli lisensi, terutama untuk sistem akustik dan elektronika, daripada membentuk kerja sama alih teknologi (offset) saat membeli alutsista dari luar negeri jika ada komitmen membangun kemampuan ASW dan ASuW TNI AL.

"Peluang yang kita punyai adalah jika ingin membangun kemampuan penuh TNI AL untuk peperangan bawah air, itu harus didukung bagaimana menumbuhkan kapabilitas industri lokal. Untuk mendukungnya, bagaimana industri lokal ini bisa memproduksi underwater acoustic equipment (perangkat akustik bawah air, red.) underwater electronic equipment (perangkat elektronika bawah air, red.)," katanya.

 Alman menyebutkan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan industri pertahanan dalam negeri untuk produksi sistem akustik dan elektronika melalui pembelian lisensi.

"Caranya adalah kita harus mengubah kebijakan offset menjadi lisensi. Dengan lisensi, kita akan mendapatkan gambaran penuh pengetahuan tentang bagaimana memproduksi peralatan akustik. Kalau offset, tidak akan jalan," kata dia.

Baca juga: Ahli tekankan pentingnya kuasai database kapal-kapal asing di kawasan
Baca juga: PT PAL tangani proses MRO kapal pinisi Ayana Lako Di’a


Alman mencontohkan keuntungan pembelian lisensi itu saat pembuatan kapal patroli cepat FPB 57 oleh galangan kapal PT PAL.

"PT PAL bisa bikin FPB 57 pada masa lalu karena waktu itu beli lisensi FPB 57, bukan offset bikin haluan atau buritan FPB 57, melainkan beli lisensi," kata dia.

Jika Pemerintah mendukung industri dalam negeri membeli lisensi, menurut dia, industri pertahanan RI punya akses terhadap sistem alutsista yang ingin dibangun dan dikembangkan ke depan.

"Pertanyaannya apakah kita mau melakukan ini? Karena lisensi biayanya tidak murah. Kita harus membayar sekian ratus juta dolar atau mungkin hampir miliar dolar untuk suatu produk. Kuncinya, kemauan politik," kata dia.

Alman menyebut saat ini Indonesia masih bergantung pada industri pertahanan asing, terutama dari negara-negara Eropa untuk teknologi akustik dan elektronika kapal. Padahal, teknologi tersebut, krusial untuk meningkatkan kemampuan peperangan antikapal selam dan antikapal peperangan TNI AL.

Terkait dengan investasi bidang pertahanan, Sekretaris Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan (Sesditjen Strahan) Kementerian Pertahanan RI Brigjen TNI Oktaheroe Ramsi, dalam acara diskusi yang sama, menyampaikan Kemhan pada prinsipnya berharap anggaran pertahanan naik setidaknya sampai 1,5 persen dari PDB.

Namun, upaya meningkatkan anggaran pertahanan sampai 1,5 persen dari PDB pun tak mudah. Pasalnya, selain butuh koordinasi panjang antarinstansi dan pembuat kebijakan, juga masih menunggu arah kebijakan presiden terpilih, yang bakal resmi menjabat setelah pelantikan pada tanggal 20 Oktober 2024.

"Contoh, setelah Oktober ini kebijakan-kebijakan pertahanannya apa dan ini bisa dituangkan dalam kebijakan pertahanan negara," kata dia.

Terkait dengan anggaran pertahanan, Alman pesimis anggaran itu naik sampai 1,5 persen pada tahun 2024, di antaranya karena belanja pertahanan kemungkinan belum jadi prioritas Pemerintah, kemudian ada kebutuhan untuk mengelola keuangan negara agar defisit APBN tidak melampaui 3 persen.

"Saya tidak melihat dalam waktu dekat pemerintahan baru akan menaikkan anggaran pertahanan jadi 1,5 persen, paling 1 persen," kata Alman.

Tidak hanya itu, struktur anggaran pertahanan juga masih terbagi untuk belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Pembelian alutsista merupakan bagian dari belanja modal, yang alokasinya kurang dari 30 persen dari anggaran pertahanan dari APBN.

"Sejak Orde Baru sampai sekarang, belanja alutsista kita selalu ditopang oleh pinjaman luar negeri, bukan dari belanja modal APBN tahunan. Belanja modal hanya untuk beli amunisi, spare-parts, kapal-kapal patroli ukuran 30–50 meter pakai anggaran belanja rutin, tetapi untuk major-nya kita masih mengandalkan pinjaman luar negeri," kata Alman.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024