Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit.
Jakarta (ANTARA) - Kardiak defibrilator implan (subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator/ICD) pertama di Indonesia yang dipasang pada seorang pasien Sindroma Brugada menjadi upaya untuk mencegah kematian jantung mendadak akibat aritmia.

Dokter dari Heartology Cardiovascular Hospital, dr Sunu Budhi Raharjo SpJP, mengatakan pemasangan alat tersebut mampu menekan risiko komplikasi pada pasien, yaitu seorang pria berusia 46 tahun dari Papua, sehingga aktivitas sehari-hari pasien tidak terganggu.

"Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal," kata Sunu dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dia mengutip Riset Kesehatan Dasar 2023, menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia setelah stroke. Kematian yang disebabkan penyakit jantung, katanya, berupa serangan jantung maupun henti jantung.

Baca juga: Dokter tak sarankan orang dengan penderita jantung akut untuk berpuasa

Baca juga: Benarkah kolesterol tinggi dapat menimbulkan rasa lelah?


Adapun jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung, katanya, adalah gangguan irama jantung (aritmia) yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat.

"Di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100 ribu jiwa per tahun," ujarnya.

Dokter itu menjelaskan Sindroma Brugada adalah salah satu jenis aritmia yang terjadi pada pasien yang tak punya keluhan. Menurutnya, sindrom itu menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada individu yang sehat, yaitu sebesar lebih dari 20 persen, terutama di daerah Asia Tenggara.

Sunu menambahkan, gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan aritmia lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang, sampai meninggal mendadak. Menurutnya, sampai saat ini penyebab sindrom Brugada belum jelas, akan tetapi faktor genetik diduga menjadi salah satu faktor risiko.

Dia menyebut bahwa pada 9 Maret 2024, Heartology menjadi rumah sakit jantung pertama di Indonesia yang melakukan pemasangan S-ICD pada pasien yang mengidap sindrom itu.

Dalam pemeriksaan lebih lanjut, katanya, ternyata kakak pasien tersebut meninggal mendadak pada usia sekitar 50-an, dan diketahui bahwa pasien itu memiliki risiko fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut, katanya, menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.

"Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit," katanya.

Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, dia melanjutkan, saat terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.

Dalam kesempatan itu, dia juga menyebut bahwa tes EKG adalah pemeriksaan sederhana yang dapat dijalani untuk mengidentifikasi serta mencegah risiko kematian jantung mendadak.*

Baca juga: Wanita dengan komplikasi kehamilan berisiko terkena penyakit jantung

Baca juga: RSUD Praya buka pelayanan unit jantung dan stroke

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024